blonto

12 Februari 2008

Ranjang Yang Ternoda 7 “Dalam Pelukan Pria Tua”

Kamar VIP tempat Hendra dirawat mulai terlihat membosankan bagi Alya, dia ingin segera pulang dan membawa suaminya meninggalkan kamar rumah sakit yang berbau obat ini untuk kembali menjalani hidup bersama di rumah sendiri. Ibu muda yang cantik itu duduk termenung di samping jendela kamar sambil melamun, pandangannya tak berpindah dari halaman rumah sakit yang asri dan dipenuhi pepohonan menghijau, walaupun hari sudah gelap tapi pemandangan taman tetap terlihat karena nyala terang lampu hias di taman. Malam mulai menggelayut dan gelap menyelimuti hari. Pandangan Alya beralih dari satu lampu ke lampu yang lain, setelah bosan ia beralih memperhatikan pepohonan tinggi yang menunduk seakan tertidur lelap di tengah malam yang sunyi.

Pikiran Alya termenung lebih jauh lagi, seperti apa kehidupan mereka selanjutnya dengan keadaan Mas Hendra yang seperti ini? Separuh tubuhnya sudah lumpuh, masa penyembuhannya akan berlangsung lama, belum lagi pengaruh psikisnya pada Mas Hendra dan keluarga mereka. Pekerjaan Mas Hendra memang masih bisa dikerjakan dari rumah melalui internet bahkan perusahaan Mas Hendra sudah mengatakan opsi pekerjaan tersebut bisa dikerjakan oleh Mas Hendra selama sakitnya. Mereka tidak akan memecat Hendra, melainkan tetap memperkerjakannya walaupun tetap berada di rumah karena kemampuan Hendra memang tidak ada duanya dan dia sangat dibutuhkan untuk tetap bekerja. Walaupun begitu, akan tetap butuh waktu bagi mereka semua untuk menyesuaikan diri.

Alya menatap keluar halaman dengan pandangan yang makin mengabur. Bagaimana dengan dia sendiri? Kuatkah dia menghadapi semua masalah demi masalah yang makin lama makin besar dan meremukkan seluruh jiwaraganya? Kuatkah dia untuk terus berada di samping suaminya sementara hidupnya terus berada di bawah ancaman pria tua busuk seperti Bejo Suharso? Keluhan pelan keluar dari mulut Alya, wanita cantik itu hanya bisa berharap ini semua segera berakhir.

Terdengar ketukan pelan dari pintu, Alya melirik ke jam dinding, siapa gerangan yang mengetuk jam segini? Jam bezuk sudah lewat dan Alya tidak menunggu siapapun termasuk Dodit, Anis ataupun Lidya sementara Opi sudah dititipkan pada Bu Bejo. Siapa yang malam ini datang? Susterkah? Jarang sekali suster masuk ke dalam ruangan jam segini, biasanya mereka datang hampir tengah malam.

“Halo… halo… kamu sendirian ya sayang? Bagus! Ayo kita bersenang-senang!”

Alya hampir menjerit ketika sosok gemuk Bejo Suharso masuk ke dalam kamar sambil menyeringai. Dengan bantuan tangannya sendiri, Alya membekap mulut agar tidak menjerit dan menimbulkan kegaduhan. Pak Bejo datang seorang diri, pria tua itu bahkan dengan berani menggeser kursi yang ada untuk memalang pintu kamar, siapapun yang hendak masuk akan kesulitan membuka pintu kecuali kursi itu disingkirkan. Alya meringkuk ketakutan di pojok ruangan. Berulang kali wanita cantik itu melirik ke arah suaminya yang masih lelap. Kepada siapa Alya harus minta pertolongan? Keringat deras mengalir di dahinya.

“Ayo… ayo… tidak usah takut. Ini aku, sayang. Kekasihmu tercinta.”

Bejo berjalan tegap ke arah istri Hendra yang pucat pasi dan ketakutan, kangen sekali rasanya dia pada si molek ini.

Alya menggeleng. “Jangan mendekat! Jangan mendekat!!”

Alya bangkit dan mencoba melarikan diri, tapi tangan besar Pak Bejo lebih cekatan dari gerakan Alya yang panik. Dengan satu sentakan, Alya dilempar kembali ke pembaringan di samping tempat tidur Hendra yang masih terlelap. Di kamar VIP itu, memang disediakan satu pembaringan untuk tamu penunggu pasien.

“Jika kau mau semua ini berakhir, diam dan layani aku.” bisik Pak Bejo mengancam.

###

Lidya tidak bisa tidur malam ini, saat makan malam tadi Andi mengatakan kalau dia harus pergi lagi selama seminggu ke luar kota. Suaminya itu mengatakan kalau ternyata ada beberapa pekerjaan kantor yang belum tuntas diselesaikan saat dia ke dinas di sana seminggu yang lalu. Karena pekerjaan itu sifatnya mendesak, besok Andi harus segera terbang lagi kesana dan membereskannya.

Sebenarnya bukan perpisahan selama seminggu dengan Andi yang membebani batin Lidya, melainkan rasa takutnya kembali berdua saja dengan ayah mertuanya yang cabul. Pantas saja Pak Hasan memaksa Lidya menjadi budaknya seminggu ini, ternyata mertuanya itu sudah lebih dahulu tahu kalau Andi akan pergi dinas lagi selama seminggu. Membayangkan senyum ejekan menggaris di bibir Pak Hasan, ingin rasanya Lidya menamparnya. Menjijikkan sekali! Orang yang tadinya dianut sebagai pengganti orang tua, malah menjebloskannya ke lembah hina.

“Mass…,” Lidya menggelayut manja di pundak suaminya yang baru saja naik ke ranjang. “Apa perginya tidak bisa ditunda? Mas Andi kan baru saja pulang, belum sampai seminggu di rumah sudah pergi lagi.”

“Maaf sayang, tidak bisa, aku tetap harus pergi besok. Kamu tahu sendiri kan ini sudah masuk jadwal rutin akhir tahun anggaran, pekerjaan di daerah menumpuk sementara teman kerjaku malah cuti karena istrinya melahirkan, tidak ada orang lain lagi selain aku yang bisa mengerjakannya, padahal rencananya bulan depan bos besar akan datang dari Singapore, reportnya harus segera selesai dalam minggu ini.” bisik Andi yang sudah mulai memejamkan mata, dia lelah sekali hari ini.

“Terus aku bagaimana?” desah Lidya lagi.

“Kamu bagaimana gimana? Kamu ya di rumah aja, aku kan cuma seminggu, nggak lama, lagi pula ada Bapak di rumah. Dia bisa menemani kamu selama aku pergi, kamu tidak perlu takut kesepian, kalau butuh jalan-jalan tolong temani Bapak keliling-keliling cari kontrakan baru. Siapa tahu bapak bosan di rumah terus.”

Lidya merengut, kalau diberi kesempatan dan diperbolehkan, dia justru ingin menghajar mertuanya yang dengan biadab telah memperkosa dan mempermalukannya itu, tapi Lidya tentu saja tidak mungkin melakukannya.

“Aku kan masih kangen,” rayu Lidya manja sambil menciumi bagian belakang leher suaminya. “baru beberapa hari kamu di rumah… malam ini… kamu… kita…”

Andi yang tertidur sambil membelakangi Lidya geli diciumi oleh istrinya, diapun membalikkan badan. “Aduh sayang, jangan sekarang ya… aku capek sekali.”

Setelah mendorong Lidya agar menjauh sedikit, Andi kembali berbalik dan terlelap.

Lidya mencibir dengan kesal.

###

“Apa mau Pak Bejo?” tanya Alya geram. Dia menyimpan kekhawatiran pada tatapan mesum lelaki tua itu.

“Buka resleting celanaku!” perintah Pak Bejo.

“Sinting! Gila! Pak Bejo pikir ini dimana? Ini rumah sakit! Bagaimana nanti kalau ada orang masuk?” Alya mengeluarkan keringat dingin karena tegang. “Lagipula aku tidak mau melakukannya di depan Mas Hendra!!” tambah Alya. Si cantik itu mencoba mengelak dengan segala cara namun pergelangan tangannya dipegang erat oleh Pak Bejo. Alya buru-buru mencari cara lain untuk meloloskan diri dari situasi gawat ini. “Aku akan layani Pak Bejo kalau kita sudah sampai rumah nanti! Tidak di sini, tidak sekarang! Pokoknya aku tidak mau!”

“Aku tidak peduli. Kamu pikir selama ini aku tidak mengamati kegiatan di rumah sakit ini? Aku lebih pintar dari yang kau kira, sayang. Suster tidak akan datang ke kamar ini dalam waktu seperempat jam ke depan dan sekarang bukan jam bezuk, jadi tidak akan ada orang lain di sini kecuali kita berdua, Mbak Alyaku yang cantik jelita.” Pak Bejo terkekeh digdaya, “Coba lihat suamimu itu. Kasihan sekali kan kalau sampai arah infusnya berbalik? Darahnya akan tersedot ke atas… hehehe. Kau sadar tidak, mudah sekali kalau aku ingin menyakiti orang-orang yang kamu cintai kapanpun aku mau. Kalau tidak ingin Mas Hendra kucelakai sampai mampus di tempat ini juga, sebaiknya kau segera buka resleting celanaku dan sedot kontolku sampai aku puas!”

Alya menatap Pak Bejo tak percaya, ia memutar otak mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang sedang ia hadapi, tapi memang tidak ada jalan lain yang aman baginya kecuali melayani kemauan bajingan tua ini. Keselamatan Mas Hendra lebih penting dari martabatnya yang sudah tak ada harganya lagi. Alya akhirnya menurut, ia jongkok ke bawah, membuka kancing lalu menarik turun kait resleting celana Pak Bejo. Setelah dibuka, Alya menarik turun celana panjang berikut celana dalam yang dikenakan oleh pria tua itu sampai ke betis. Kemaluan Pak Bejo yang besar dan panjang meloncat keluar dari celana dalam yang ia kenakan dan menampar pipi mulus Alya.

Ingin sekali rasanya Alya menendang kantung kemaluan Pak Bejo dan melarikan diri dari ruangan ini, tapi melihat Hendra yang lelap tak berdaya Alya tahu ia harus tunduk dan menuruti semua kemauan Pak Bejo. pria tua itu menjambak rambut Alya dan menariknya ke belakang, wajah Alya menengadah ke atas dan bertatapan mata langsung dengan mata jalang Pak Bejo.

Wajah takluk Alya membuat Pak Bejo tersenyum puas. Dengan jari-jari nakalnya, pria tua itu memainkan rambut indah Alya lalu dengan kasar dia mendorong wajah Alya mendekati kemaluannya.

“Sedot.” Bisik Pak Bejo, suaranya pelan namun tegas.

Alya tahu, dia harus segera melayani kemauan Pak Bejo saat ini juga atau pria tua yang jahat itu akan menghajarnya seperti beberapa waktu yang lalu. Pak Bejo memang tidak berperasaan, dia menyuruh Alya mengoral kemaluannya tepat di hadapan sang suami yang masih lelap, belum lagi kalau ada suster yang datang. Benar-benar nekat orang tua tak tahu malu ini. Mereka berada cukup dekat dengan ranjang penunggu pasien tempat Alya biasa tidur menemani Hendra.

“Kamu mau ketahuan orang? Mumpung sepi, cepat sedot.” Gertak Pak Bejo sekali lagi.

Alya melirik ke arah Hendra yang masih terlelap, lalu menatap sengit mata Pak Bejo.

Alya mencondongkan badan ke depan dan membuka mulutnya perlahan. Si cantik itu menelan batang kemaluan Pak Bejo dan memainkan lidah di sekitar ujung gundulnya. Alya memegang kontol Pak Bejo dengan lembut dan mengocoknya perlahan. Si cantik itu mendorong Pak Bejo agar tidur terlentang di ranjang penunggu pasien dan ia mulai menjilati seluruh batang kemaluan lelaki tua itu, mulai dari kantungnya, lalu batang, sampai ke atas. Jilatan lidah Alya membuat Pak Bejo terangsang dan belingsatan, enak sekali rasanya.

Nafas Pak Bejo kian berat, ia sangat menyukai perasaan berkuasa seperti ini. Ia merasa seperti seorang raja yang sedang dilayani oleh selirnya. Saat ini pria tua itu tahu apapun yang ia perintahkan pasti akan dilaksanakan ibu muda yang seksi itu. Membayangkan wanita secantik Alya melakukan hal-hal yang memalukan membuat Pak Bejo terangsang. Kontolnya langsung ngaceng, bahkan akan meledak mengeluarkan air mani seandainya tidak ditahan-tahannya.

Lama kelamaan, seluruh batang pelir Pak Bejo sudah tertelan oleh Alya, kepalanya naik turun bersama gerakan mulutnya mengocok kemaluan sang lelaki tua dari ujung gundul sampai kantung kemaluan. Pak Bejo memiringkan kepala Alya dan menyibakkan rambut yang menutup wajah cantiknya. Ia ingin melihat langsung kontolnya keluar masuk bibir mungil wanita secantik Alya, pemandangan indah itu membuatnya semakin terangsang.

Benar saja, hanya beberapa detik melihat Alya mengoral kemaluannya, Pak Bejo sudah siap mencapai klimaks. Pria tua itu mengencangkan cengkramannya pada rambut Alya dan menggerakkan kepala wanita jelita itu seraya memompakan penisnya ke dalam mulut Alya. Si cantik itu memberontak sesaat, tapi tatapan galak Pak Bejo meluruhkan niatnya, nyali Alya menciut dan Pak Bejo pun membentaknya galak. “Ayo dikulum terus! Kenapa berhenti?”

Walau kesal dan jengkel tapi Alya tak melawan sedikitpun. Si cantik itu melumat kontol Pak Bejo seiring gerakan sang pria tua menggiling kemaluannya memasuki tenggorokan Alya dengan gerakan yang sangat cepat sampai-sampai si cantik itu tak sempat menarik nafas. Lama kelamaan sodokannya makin cepat dan pendek sementara nafas Pak Bejo terdengar mendengus-dengus. Alya yakin pria tua itu pasti akan segera mencapai puncak kenikmatan.

“Mainkan kantungku,” lenguh Pak Bejo sambil menggemeretakkan gigi. Pria itu masih terus menyodokkan kemaluannya ke mulut Alya. Begitu jari-jari lembut Alya menyentuh kantung kemaluannya, Pak Bejo tidak kuat lagi, ia langsung mencapai klimaks dengan cepat. Diiringi lenguhan panjang, Pak Bejo menyemprotkan cairan cintanya. Pria tua itu memaksa Alya menerima semua semprotan pejuh dengan mulutnya, tangan Pak Bejo bahkan memegang kepala Alya erat-erat agar si cantik itu menelan semua semprotan air maninya tanpa ada yang tersisa. “Telan!” desak Pak Bejo melihat Alya enggan menerima air maninya, perintah Pak Bejo terpaksa dituruti oleh ibu muda yang cantik itu karena takut dan ia ingin sesegera mungkin mengakhiri sesi oral seks dengan orang tua bejat itu.

Merasakan penisnya dikulum dan pejuhnya ditelan mentah-mentah oleh Alya membuat Pak Bejo sangat puas. Setelah penis Pak Bejo menembakkan peluru pejuhnya yang terakhir, pria tua itu meringis dan menarik penisnya dari kuluman Alya. Beberapa tetes air mani kental ikut terbawa saat ia menarik kemaluannya. “Bersihkan kontolku.” Perintah pria tua itu.

Dengan hati-hati Alya menjilat dan menelan setiap tetes pejuh yang membasahi kemaluan Pak Bejo. Bibir si cantik itu belepotan air mani sang pria tua, Alya memang sengaja tidak menelan seluruh cairan yang keluar dari kemaluan Pak Bejo karena jijik, pejuh putih kental menetes dari sela-sela mulutnya dan jatuh di atas lantai. Pak Bejo menepuk-nepuk kepala Alya dan mengenakan kembali celananya dengan penuh kepuasan.

“Memang enak seponganmu, Mbak Alya,” kata Pak Bejo. “mungkin Mas Hendra bisa sembuh dari lumpuhnya dan bangun dari tempat tidur kalau kau sepong terus tiap hari.”

Sambil tertawa terbahak-bahak Pak Bejo melangkah pergi meninggalkan kamar tempat Hendra dirawat, Alya menatap kepergian orang tua bejat itu dengan penuh kebencian. Beberapa orang suster yang sedang duduk beristirahat di ruang administrasi menatap heran langkah jumawa dan senyum sumringah Pak Bejo meninggalkan bangsal, baru kali ini ada orang yang tertawa terbahak-bahak usai mengunjungi pasien yang sakit parah, keterlaluan sekali orang ini.

Sepeninggal Pak Bejo, Alya membersihkan lantai yang basah oleh air mani dengan tissue dan mencuci mulutnya di kamar mandi.

Tanpa sepengetahuan Alya yang telah masuk ke kamar mandi, setetes air mata mengalir di pipi Hendra.

###

Andi memasuk-masukkan tasnya ke dalam mobil, bersiap hendak berangkat. Matahari pagi terasa jauh lebih panas dari biasanya, walaupun enggan meninggalkan istrinya yang jelita sendirian di rumah lagi, Andi tetap harus berangkat.

“Yakin nih, Mas? Bakal seminggu lagi?” tanya Lidya sambil memendam rasa kecewa. Belum tuntas rasanya ia melepaskan rasa rindu dan mencari perlindungan pada suaminya, ternyata kini Andi harus pergi lagi. “Apa nggak bisa dipercepat pulangnya?”

“Maunya sih begitu, sayang. Tapi ini kan perintah langsung dari atasan, aku tidak bisa bilang tidak. Aku coba lihat nanti berapa banyak pekerjaan yang numpuk, kalau memang bisa pulang lebih awal, aku pasti pulang.” Andi tersenyum lembut melihat istrinya cemberut, ia tahu Lidya kecewa. Dengan penuh rasa sayang dikecupnya bibir sang istri. “Aku janji, kalau pulang nanti akan aku bawakan oleh-oleh makanan kesukaanmu.”

Lidya masih tetap cemberut.

Tiba-tiba saja Pak Hasan datang dan dengan santai merangkul pundak Lidya. Wanita cantik itu tentu terkejut sekali, berani-beraninya Pak Hasan merangkulnya di depan Andi!

“Jangan khawatir, Bapak pasti akan menjaga istrimu baik-baik, Ndi.”

“Iya, Pak. Untung saja ada Bapak di sini, jadi Lidya tidak akan kesepian.” Kata Andi.

Dasar bodoh, amuk batin Lidya, andai saja suaminya itu tahu, kalau selama ini justru ayahnya yang telah memperlakukan Lidya seperti seorang pelacur jalanan. Dengan gerakan sesopan mungkin, Lidya menurunkan tangan Pak Hasan yang tadinya merangkul pundaknya.

“Aku pergi dulu yah, sayang.” Pamit Andi, “Pak, titip Lidya ya.”

“Iya. Hati-hati di jalan.” Pak Hasan menyeringai. Ia sangat bahagia diberi titipan yang sangat berharga oleh anaknya itu, seorang wanita jelita yang seksi yang bisa ia tiduri kapan saja ia mau.

Lidya terdiam saat mobil Andi berangkat meninggalkan rumah.

Ketika mobil itu menghilang dari pandangan, tangan Pak Hasan langsung beraksi, meremas-remas pantat bulat Lidya. Si cantik itu menghardik mertuanya dan melangkah masuk ke rumah dengan sewot. Pak Hasan meringis penuh kemenangan.

###

Dina mengejap-kejapkan matanya yang masih mengantuk. Semalam suntuk ia tak bisa tidur memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Pak Pram dan Pak Bambang telah menyewakan satu kamar hotel mewah yang semalam ia gunakan untuk beristirahat, tapi Dina tetap tak bisa tidur, ia ingin tahu bagaimana kabar anak-anaknya, bagaimana kabar Alya dan Lidya – adiknya dan bagaimana kabar Anton suaminya.

Proposal yang diajukan Pak Bambang adalah pisau bermata ganda yang bisa membuat mereka sekeluarga hidup berkecukupan walaupun hidup terpisah tapi juga akan membelenggu hidupnya sebagai istri seorang idiot pewaris kekayaan seorang konglomerat yang sudah sangat tua. Apa yang akan dilakukannya?

Langkah kaki Dina terasa berat menyusuri lorong hotel mewah menuju kamar pertemuan yang berada di ujung. Dalam hati kecilnya, Dina merasa dirinya bagaikan seorang narapidana yang hendak dihukum mati. Ia memang bersalah, ia sudah bersedia melacurkan diri untuk menyelamatkan kelangsungan hidup keluarga, ia berani menanggung resiko sebagai wanita jalang yang mau melayani kemauan binal orang-orang tua tak tahu diri. Ia merasa bersalah, karena telah mengkhianati janji pernikahan dengan Mas Anton. Seandainya hari ini Anton memutuskan untuk memberikannya pada Pak Bambang… sepertinya… Dina rela…

Wanita cantik itu mengambil tissue dari kantong bajunya dan menghapus airmata yang menetes perlahan membasahi pipi. Beberapa orang penjaga melirik ke arah Dina dengan pandangan meremehkan, bibir mereka tersungging menghina dan merendahkan, menambah pedih sakit di dalam hatinya. Langkah kaki yang terasa berat membuat pinggul Dina bergerak pelan, bagi para penjaga, gerakan pantat Dina bagaikan suguhan pertunjukkan yang mengasyikkan, seandainya wanita ini tidak lagi diinginkan oleh pimpinan mereka, ingin rasanya mereka mencicipi tubuhnya yang indah.

Pintu besar ruang pertemuan dibuka lebar, beberapa orang menemani Dina masuk ke dalam. Di dalam ruangan, terdapat sebuah meja besar dengan kursi yang saling berhadapan. Di sisi jauh, Pak Bambang, Pak Pramono, beberapa orang pegawai pemerintah berjabatan tinggi serta beberapa orang asisten sudah sedari tadi menunggu Kedatangannya. Sementara di kursi yang menghadap ke arah mereka, duduklah suami Dina dengan kepala menunduk tanpa berani diangkat.

Dengan wajah lesu Dina duduk di kursi yang telah disediakan di samping suaminya.

Pak Bambang dan Pak Pramono duduk dengan tenang sementara asistennya mengeluarkan beberapa lembar berkas dan meletakkannya di hadapan Anton dan Dina. Sepasang suami istri itu tidak saling memandang dan terdiam membisu, perasaan keduanya kacau balau.

“Ini adalah berkas-berkas yang perlu ditanda-tangani seandai kalian berdua bersedia menerima penawaran dari Pak Bambang. Dengan menandatangani surat-surat ini, kalian berdua akan resmi bercerai secara sah dan legal.” Kata asisten Pak Bambang.

Dina dan Anton menatap tak percaya surat-surat yang berada di hadapan mereka. Bagaimana mungkin Pak Bambang dan Pak Pramono bisa menyediakan surat cerai bagi mereka dalam waktu yang sangat singkat? Anton menatap geram kedua orang tua yang sangat kaya itu dan yakin, surat ini bisa turun tentunya dengan menyogok petugas pemerintah yang mengurusnya. Ada uang ada barang. Bagi orang sekaya Pak Bambang, mudah sekali mendapatkan surat-surat yang diinginkan, apalagi hanya surat cerai bagi kaum menengah sepertinya. Mereka bahkan tidak perlu menghadiri sidang perceraian atau apapun, hanya menandatangani surat-surat ini, pernikahan mereka sudah berakhir. Urusan legalitas dan administrasi sudah ditangani oleh dua pengusaha kaya yang memeras mereka itu, segala sesuatunya benar-benar sudah disiapkan.

Tubuh Dina gemetar ketakutan melihat surat-surat di hadapannya sementara Anton membolak-balik kertas dengan geram. Benar-benar sudah lengkap semua yang dibutuhkan, tidak ada celah sedikitpun bagi Anton dan Dina untuk berkelit.

“Keputusan sekarang berada di tangan kalian berdua.” Kata Pak Pram.

Anton menatap Dina dengan pandangan sedih yang tak terkatakan, Dina menatap suaminya kembali dan menggelengkan kepala. Anton menunduk sedih tanpa mampu mengucap kata-kata. Tangannya memegang pena dengan gemetar, Anton bingung, perasaannya bimbang, apa yang harus ia lakukan? Manakah keputusan yang terbaik bagi semuanya?

Mata Anton menatap surat-surat berisi pemberian modal usaha dan surat tanah serta hak milik rumah dan tempat usaha yang akan diberikan Pak Pramono bersamaan dengan surat cerainya. Anton menatap Pak Bambang, Pak Pramono dan akhirnya ia melirik ke arah cincin yang dulu ia sematkan di jari manis sang istri saat prosesi pernikahan mereka.

“Baiklah, sudah saya putuskan.” Kata Anton.

Dina menutup mata dan menarik nafas karena tegang, saat ini yang bisa dilakukannya hanyalah berharap.

###

Aneh sekali rasanya memasak hanya mengenakan handuk yang melilit di tubuhnya, Lidya merasa risih sekali, apalagi di belakangnya, Pak Hasan menyantap sarapan di meja makan dengan wajah bahagia. Siapa orang yang tidak senang, makan pagi ditemani seorang wanita cantik laksana bidadari yang hanya mengenakan handuk sebagai penutup tubuh. Apalagi handuk milik Lidya berukuran medium, hanya bisa menutup sebagian balon buah dada dan berada tipis di atas paha, jika dia merunduk sedikit, pasti selangkangannya akan terlihat dengan jelas dari belakang. Dalam situasi normal, Lidya tidak akan mau berpakaian senekat ini, tapi ini bukan situasi normal, Lidya sedang berada di bawah kekuasaan sang ayah mertua yang bejat. Pria tua itu menghendaki menantunya memasak dan menghidangkan sarapan hanya dengan mengenakan handuk.

Lidya geram dan jengkel sekali pada sang mertua karena memperlakukannya seperti pelacur hina. Yang lebih mengerikan lagi adalah penyakit Pak Hasan yang suka memamerkan tubuh Lidya di depan keramaian. Tempo hari saat berjalan-jalan di mall, Lidya bahkan dipermalukan dengan dipaksa melayani dua laki-laki tak dikenal, yang pertama seorang pengemudi taksi dan yang kedua seorang laki-laki hidung belang. Entah apa lagi yang diinginkan Pak Hasan karena seminggu ini dia harus bersedia dijadikan budak seks lelaki tua mesum itu.

“Nduk, kamu masaknya sudah selesai belum? Makan siang kan masih lama, apa tidak sebaiknya kamu selesaikan nanti saja memasaknya?” tanya Pak Hasan setelah menyelesaikan sarapannya. Lidya yakin, pasti si tua ini ada maunya.

“Sudah hampir selesai, Pak.” Jawab si cantik itu dengan nada suara datar.

“Aku tadi sudah mencuci baju dan celana, tapi belum aku jemur. Bisa minta tolong dijemurkan sebentar di lantai atas?”

Bukan permintaan yang aneh-aneh. Tumben.

“Bisa, Pak. Setelah ini selesai.”

Pak Hasan berdiri dan mensejajari menantunya, pria tua itu geleng-geleng kepala. Andi memang benar-benar lelaki yang beruntung, lihat saja perempuan mulus yang menjadi istrinya ini, kurang apa lagi? Wajahnya cantik jelita, tubuhnya seksi seperti biola, kulitnya putih mulus seperti pualam, rambutnya panjang dan hitam, payudaranya montok dan kencang, pantatnya bulat dan memeknya masih sangat rapat. Benar-benar spesimen perempuan yang sangat menggairahkan. Dengan main-main Pak Hasan menepuk pantat menantunya pelan.

“Tentunya tidak baik menjemur pakaian di halaman belakang hanya memakai handuk seperti ini.” kata Pak Hasan. “Aku carikan baju untukmu.”

Lidya curiga, tapi diam saja dan hanya mengangguk mengiyakan. Pak Hasan bersiul-siul aneh sambil melangkah meninggalkan dapur, Lidya menarik nafas lega. Saat itulah tiba-tiba Pak Hasan membalikkan badan dan melucuti kemeja yang sedang ia pakai.

“Hah, bodohnya aku ini. Semua bajuku kan sedang dicuci, bagaimana kalau kau pakai dulu kemejaku ini saja?”

Lidya menunduk lesu, ini dia rupanya, si tua ini memang selalu ada saja maunya. Dengan langkah malas Lidya mendatangi ayah mertuanya dan menerima kemeja yang diberikan padanya. Kemeja itu adalah sebuah kemeja putih tipis yang menerawang, seandainya dipakai pasti akan terlihat sangat seksi.

“Bagaimana celananya?” tanya Lidya.

“Celana apa? Siapa yang menyuruhmu pakai celana?” Pak Hasan belagak bodoh. “Aku hanya ingin melihatmu pakai kemeja ini dan menjemur pakaian di atas sana. Tentunya tidak usah menggunakan BH dan celana dalam pula, hari ini panas sekali, aku takut kamu kepanasan, kasihan sekali.”

Mulut Lidya menganga terheran. Dia tidak percaya mendengar permintaan Pak Hasan. Mertuanya itu memintanya menjemur pakaian di tingkat atas hanya mengenakan sehelai kemeja tanpa baju yang lain? Bagaimana kalau nanti terlihat oleh tetangga sebelah rumah? Rumah Andi dan Lidya memang cukup besar, dengan pagar tinggi melindungi bagian tengah hingga belakang. Untuk menjemur pakaian, Lidya biasa menggunakan lantai atas yang terbuka dan kosong. Walaupun tidak akan terlihat langsung oleh tetangga-tetangga yang berada di bagian depan rumah, namun keerotisan Lidya bisa terlihat jelas oleh tetangga samping dan belakang seandainya mereka secara tidak sengaja mendongak dan menatap ke atas.

“Apa ada masalah?” Pak Hasan mendekatkan wajahnya ke arah Lidya sambil menatapnya galak. Lidya tahu, pria tua itu bisa menyakitinya kapan saja ia mau, hanya satu cara untuk menghindari pukulannya yaitu dengan menuruti semua permintaannya. Toh, Lidya sudah bersedia menjadi budak seksnya untuk seminggu ini.

“Ti-tidak, Pak… tidak ada masalah…” Lidya menundukkan wajahnya yang ayu.

Pak Hasan terkekeh lagi sambil menyerahkan kemejanya pada Lidya.

###

Sudah beberapa hari ini Anissa malas bangun dan keluar dari kamar. Ia ingin pulang saja ke rumah, ia ingin menghindar sejauh mungkin dari tempat terkutuk ini, tapi dengan kecelakaan yang menimpa Mas Hendra, Anis harus siap merawat Opi jika Bu Bejo sedang berhalangan karena Mbak Alya lebih sering berada di rumah sakit.

Walaupun sudah mandi dan makan, Anis lebih suka berdiam diri di kamar, sejak diperkosa oleh Pak Bejo yang bejat, Anissa berubah total. Perangainya yang tadinya manis dan ceria berubah menjadi seorang gadis yang paranoid dan menutup diri. Anissa bahkan tidak mau berlama-lama di luar kamar walaupun itu ditemani oleh Dodit sekalipun.

Hari ini Dodit akan seharian berada di rumah sakit menemani Mbak Alya karena kondisi Mas Hendra drop lagi. Bu Bejo sudah pulang dan Opi sekolah, sepertinya hari ini Anis bisa sedikit tenang. Ia merasa lelah karena setiap hari menangis, Dodit mengira Anissa menangis karena mengkhawatirkan kakaknya yang masih berada di rumah sakit, tapi gadis itu sebenarnya menangis karena meratapi nasibnya yang malang, diperawani oleh seorang pria tua yang bejat menjelang hari perkawinannya.

“Jangan melamun terus. Sudah makan belum?”

Kaget sekali Anissa mendengar suara itu, siapa yang tiba-tiba saja masuk ke kamarnya? Apa dia tadi lupa mengunci pintu?

Sosok tua menjijikkan mendekati Anis dengan langkah penuh keyakinan.

Suara Anissa tercekat dalam tenggorokan ketika ia melihat pria tua yang telah merenggut kegadisannya tiba-tiba saja sudah berada di dalam kamarnya! Ia tidak mendengar suara pria busuk itu masuk ke dalam rumah. Dengan langkah arogan dan pandangan mata bengis penuh nafsu birahi, Pak Bejo berjingkat-jingkat menuju ranjang Anis. Mata pria tua itu bersinar-sinar jalang, membuat bulu kuduk si cantik Anis merinding.

“Ya Tuhan, ini tidak mungkin… tidak mungkin terjadi lagi… tidak lagi…” bisik Anissa pada diri sendiri. Gadis itu meraih selimutnya yang tebal dan menutupi tubuhnya yang indah, tapi tentunya sia-sia saja. Dengan sekali sentak, selimut itu melayang jauh ke pojok kamar, membiarkan tubuh Anissa terbuka lebar untuk dinikmati sang pria tua yang bejat. Pak Bejo menubruk tubuh gadis muda itu sebelum Anissa sempat melarikan diri. Mereka sempat bergumul sesaat di atas ranjang sebelum akhirnya Pak Bejo berhasil menangkup buah dada Anissa yang ranum di balik kaos yang dikenakannya dalam cakupan jemarinya yang kotor.

“Aku dengar seharian ini kamu tidak mau keluar kamar, anak manis?” tanya Pak Bejo sambil memainkan payudara Anissa yang masih berada di balik baju. “Kenapa? Kamu malu sudah tidak perawan lagi? Kamu malu sudah bersetubuh denganku?”

“Dasar bajingan!” desis Anis geram.

“Aku tadi berbincang-bincang dengan Mas Doditmu. Dia mengira kamu tidak ingin diganggu seharian ini karena sedang tidak enak badan dan ingin beristirahat, dia sama sekali tidak tahu akulah penyebab semua ini, dia tidak tahu aku sudah menjebol selaput daramu yang sangat berharga itu. Dia tidak tahu kalau aku telah memperoleh keperawanan pengantinnya yang cantik jelita.” Pak Bejo terkekeh-kekeh saat mengucapkan kata-kata yang melukai perasaan Anissa itu, “Dia tidak bisa menolongmu waktu kau kuperkosa, jadi jangan harap tunanganmu itu akan menolongmu sekarang. Mas Doditmu itu sedang menunggu Pak Hendra di rumah sakit, dia tadi bahkan menitipkan salam untukmu. Katanya Non Anis yang cantik diminta minum obat supaya lekas sembuh, makanya aku datang kemari untuk memberikan obat.”

Air mata Anissa mulai turun, dia takut sekali.

“Karena disuruh mengantar obat, maka harus saya sampaikan toh?” Pak Bejo terkekeh lagi. “Ini obatnya…” Dengan gerakan cabul, Pak Bejo meremas selangkangannya sendiri dan menghunjukkan benjolan penis di celananya ke wajah Anissa. Gadis itu memalingkan wajahnya dengan sebal, ia menghardik Pak Bejo karena kesal. Tapi Pak Bejo merenggut rambut Anis dan menyentakkannya kuat-kuat sampai-sampai gadis itu menjerit kesakitan. sekilas tercium bau minuman keras dari mulut Pak Bejo, apakah pria tua itu sempat mabuk sebelum masuk ke kamarnya? Anis tidak berani bergerak banyak karena takut oleh ancaman Pak Bejo. Melihat mangsanya hanya pasrah, tangan Pak Bejo bergerak bebas meremas-remas payudara ranum Anissa.

“Tolong kasihani aku, tinggalkan aku sendirian…” bisik Anissa lemah, “tolong…”

“Rasanya Mas Dodit pasti akan sangat berterima kasih seandainya kita berdua memberinya hadiah yang terindah yang akan selalu ia ingat sepanjang hidup.” Tangan Pak Bejo turun dari dada Anis ke perutnya, tangan itu menepuk pelan perut langsing Anis, “Hadiah terindah berupa seorang anak dari kekasihnya tercinta yang didapatkan dari sperma seorang pria tua buruk rupa.”

Anissa menutup mulutnya karena kaget dan takut, dia terhenyak berdiri dari posisinya yang rebah di ranjang, dia memang sudah diperkosa Pak Bejo, tapi gadis itu tidak akan mau dihamili oleh sang pria tua yang menjijikkan itu! Dia tidak sudi! Sayang, walau sudah berusaha bangkit, tapi tangan nakal Pak Bejo masih tetap erat memeluk tubuh indahnya.

“Jangan! Saya mohon, Pak! Kita tidak bisa melakukan ini! Saya ingin menikah dengan Mas Dodit, jangan hancurkan impian saya, jangan hancurkan kehidupan saya!” air mata Anis menetes membasahi pipi.

Pak Bejo menarik tubuh Anissa dan memeluknya erat, gadis itu terpaksa mundur ke belakang dan membiarkan tubuhnya bersandar di perut gendut sang pria tua. Tangan Pak Bejo mulai beraksi, tangan kanannya menyusuri buah dada ranum Anissa sementara tangan kirinya menggosok-gosok selangkangan si cantik itu. Anissa sendiri tak tahan diperlakukan penuh nafsu oleh Pak Bejo, gadis itu bisa merasakan kejantanan sang pria tua digesek-gesekkan ke pahanya.

Dengan menggunakan mulutnya, Pak Bejo melalap daun telinga Anissa sambil berbisik kepadanya. “Aku tidak melarang kamu menikah dengan siapapun, Non Anis. Kamu boleh menikah dengan Dodit atau siapa saja, aku hanya ingin menyetubuhimu tiap kali aku mau. Itu saja. Layani aku dengan baik dan aku tidak akan mengganggu hubungan kalian. Tapi kalau kau melawanku, aku bersumpah, kau tidak akan pernah merasakan lagi yang namanya cinta kasih sejati! Akan kubuat Mas Doditmu itu menderita!!”

Anissa bergetar ketakutan dalam pelukan si tua bejat, Pak Bejo bisa merasakan gerakan tubuh gadis muda itu. Anissa makin bingung, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Anissa menendang tulang kering kaki Pak Bejo dan meloncat turun dari tempat tidur.

“Auuughh!! Lonthe!!!” maki Pak Bejo geram.

Pak Bejo menjerit kesakitan dan meraung penuh amarah mengejar sang gadis yang lari ketakutan dalam keadaan panik. Karena harus memutari ranjang untuk mencapai pintu, Anissa kalah cepat dari Pak Bejo yang meloncati ranjang dengan beringas, gadis itu kembali tertangkap olehnya. Dengan kekuatannya yang hebat, Pak Bejo menyeret Anis ke tempat tidur. Dengan mudah ia memutar tubuh gadis muda itu dan menghempaskannya ke ranjang. Pak Bejo kemudian melucuti pakaiannya sendiri, sekali lagi Anis melirik ke arah pintu dan mencari saat yang tepat untuk bisa melarikan diri.

“Jangan coba-coba.” Bentak Pak Bejo saat melepas kemejanya. Ia tahu apa yang sedang direncanakan oleh gadis muda itu. Karena Anissa terus melawan, dengan terpaksa pria tua itu mengeluarkan pisau lipat yang selalu ia kantongi. “Aku tidak mau menggunakan ini, manis. Tapi kalau sampai kau melakukan hal yang aneh-aneh, aku terpaksa mengiris-iris tubuhmu dan memberikannya pada anjing tetangga.”

Kemarin, ancaman pisau inilah yang mengakibatkan Anissa kehilangan keperawanannya. Kali ini ancaman pisau Pak Bejo kembali berhasil berhasil melunakkan perlawanan Anis. Gadis itu terdiam pasrah tanpa berani melawan, matanya menatap ngeri pada pisau yang diacungkan oleh Pak Bejo sementara keringatnya mengalir deras. Dengan bebas Pak Bejo mendapatkan keinginannya.

“Aduh, aku tidak tahan lagi, anak manis. Sejak datang ke rumah ini, tubuhmu itu selalu membuat penisku ngaceng nggak turun-turun. Hari ini aku jamin, aku akan memuaskanmu dengan baik sampai-sampai kau tidak akan mampu berjalan tegak lima hari lima malam, hahaha. Kau bisa memilih, kita melakukan hal ini bersama-sama dengan lembut atau aku akan memaksamu melakukannya dengan kasar. Bagaimana? Pilih yang pertama kan? Kalau setuju, buka pakaianmu itu pelan-pelan!”

Anissa masih berbaring tanpa daya dan tak mampu mengucapkan kata-kata. Semuanya berlangsung begitu cepat seperti mimpi buruk yang tidak kunjung berakhir. Pak Bejo berdiri di depan Anis dengan gelisah dan tak sabar, pria tua itu sudah melucuti pakaiannya sendiri sampai hanya mengenakan celana dalam. Anis tahu Pak Bejo pasti akan memperkosanya dengan cara yang paling menyakitkan seandainya dia menolak. Satu-satunya jalan agar semua ini berlangsung tanpa rasa sakit adalah menuruti semua kemauannya. Dengan berat hati Anissa mencopot kaos dan mulai menelanjangi dirinya sendiri di hadapan sang pemerkosa.

Satu persatu pakaian yang dikenakan Anissa dilepas, atasan, bawahan dan BH yang ia kenakan semuanya sudah lepas. Gadis itu hanya mengenakan celana dalam dan menggunakan pakaian yang tadi ia lepas sebagai pelindung untuk menutup dadanya yang telanjang. Anissa bergetar ketakutan sambil menyembunyikan diri dari pandangan penuh nafsu Pak Bejo. Pria itu tidak kenal kompromi, ia mendekat ke arah Anis, menarik pakaian penutup dada Anis dengan kasar dan melemparnya jauh-jauh. “Sekarang celana dalamnya!” bentak Pak Bejo.

“Pak Bejo…” isak Anissa, “tidak bisakah kita…”

“Copot celana dalamnya, atau kau akan menyesal nanti,” Pak Bejo menatap Anis dengan galak sampai gadis itu ketakutan. Sambil terisak, Anis melepaskan pelindung tubuhnya yang terakhir, celana dalamnya.

“Gadis pintar.” senyum puas membentang di wajah pria cabul itu ketika dia menatap jalang selangkangan Anissa yang telanjang, “Sekarang berbaringlah ke ranjang dan buka kakimu lebar-lebar.”

Anissa menelan ludah dengan rasa takut yang membuncah, tapi gadis itu mengikuti perintah Pak Bejo. Setelah kembali berbaring di ranjang, Anis membuka pahanya lebar, memberikan akses pada Pak Bejo menatap liang kewanitaannya yang memerah. Anis melirik ke bawah dan melihat Pak Bejo sedang melucuti celana dalamnya sendiri dengan terburu-buru, penisnya yang berukuran besar melejit keluar seperti cemeti. Nafas Anis makin berat ketika dia menyaksikan benda yang sebentar lagi akan dilesakkan ke liang vaginanya yang masih rapat. Benda itu benar-benar sangat besar, akan terasa sangat menyakitkan seandainya dimasukkan ke dalam kemaluannya. Perut Anissa melintir dan mual menyaksikan ukuran kemaluan Pak Bejo, karena takut, gadis itu kembali menutup kakinya rapat saat Pak Bejo mulai merangkak di atas ranjang mendekati mangsanya.

###

Anton meraih pena dan menandatangani surat cerai dengan tangan gemetar. Tiap goresan di atas kertas bagaikan pisau yang merobek-robek hati Dina. Seperti inikah akhir pernikahannya dengan Mas Anton? Seperti inikah berakhirnya masa-masa susah senang yang telah mereka arungi berdua bersama? Benarkah suaminya itu tega menjual istri untuk melarikan diri dari hutang dan tanggung jawab? Walaupun di kemudian hari Anton, Dina dan anak-anak tidak akan pernah kekurangan uang lagi, tapi…

“Selamat tinggal… sampaikan maafku pada anak-anak… ” bisik Anton lemah, tidak ada kekuatan dalam ucapan itu. Suara Anton terdengar seperti seorang lelaki yang sudah kalah perang. Anton menatap wajah Dina untuk yang terakhir kali, lalu mencium wanita jelita itu dengan penuh kasih sayang, sebuah ciuman terakhir. Dengan langkah tertatih Anton meninggalkan ruangan sambil membawa file-file kepemilikan modal, rumah dan tanah di kota lain yang diberikan oleh Pak Pramono. Entah masa depan seperti apa yang akan ia hadapi nanti, yang jelas, Dina dan Anton tidak akan pernah bertemu kembali.

Dina melepas kepergian suaminya dengan tertunduk lesu. Airmatanya sudah kering dan ia tak mampu lagi menangis. Inikah kelanjutan hidupnya? Menjadi menantu Pak Bambang yang pernah menidurinya? Sebuah foto yang berada di atas meja menjadi ketakutan lain bagi Dina, apakah ia akan bersedia menjadi istri seorang lelaki yang tidak saja buruk rupa namun juga idiot?

Dina tahu, demi masa depan anak-anaknya dan demi kelangsungan hidup mereka, itulah kehidupan baru yang harus dijalaninya. Di bawah payung perlindungan Pak Bambang, Dina dan anak-anak tidak akan pernah lagi hidup kekurangan, walaupun untuk mendapatkan semua ini, dia harus menjual diri.

Dina menandatangani surat cerai dengan Anton. Ia tidak menangis sama sekali.

Pak Pramono menyalami Pak Bambang atas keberhasilannya mendapatkan seorang menantu yang sangat cantik dan seksi.

###

Lidya mengelap keringat yang menetes di kening. Akhir-akhir ini sinar matahari sangat panas dan menusuk kulit. Si cantik itu geleng-geleng melihat banyaknya cucian yang diberikan oleh Pak Hasan, sudah berapa hari si tua itu tidak mencuci pakaian? Jangan-jangan dia memang sengaja tidak mencuci baju agar bisa mengerjai Lidya? Satu demi satu baju dan celana yang dijemurnya di tali-tali yang sengaja dipasang.

Lidya sudah tidak mempedulikan lagi penampilannya yang seronok, ia ingin semua pekerjaan hari ini segera selesai dan ia bisa istirahat. Ia sudah tidak peduli lagi pada angin nakal yang berhembus dan melambai-lambaikan bagian bawah kemeja yang ia kenakan. Si cantik itu tidak mengenakan sehelai bajupun kecuali satu kemeja berukuran besar yang diberikan oleh Pak Hasan. Saat angin berhembus meniup bagian bawah tubuhnya, selangkangan Lidya terbuka dan menerima langsung desiran angin yang mengenai kulit dan bibir kemaluannya.

Tanpa sepengetahuan Lidya, penampilan hotnya ternyata mendapat perhatian langsung dari sebelah rumah. Seorang pembantu rumah tangga yang kebetulan sedang membersihkan rumput secara tidak sengaja melihat wanita cantik itu dengan pakaian seronok sedang menjemur pakaian.

Pemandangan yang sangat indah.

Pembantu itu geleng-geleng kepala, dulu sewaktu pasangan muda Andi-Lidya baru datang menempati rumah sebelah, Lidya langsung menjadi perhatian banyak lelaki di sekitar sini, baik yang sudah menikah maupun yang masih bujang. Penampilan wanita cantik itu sangat modern dan hot, membuat setiap mata yang memandang blingsatan, tapi baru sekali ini pembantu itu memperoleh hadiah yang menyenangkan, tubuh seindah itu dipamerkan seenaknya, benar-benar nekat Bu Lidya… seandainya saja dia bisa menikmati tubuh indahnya… ah… mimpi…

Pembantu itu tak bergerak sedikit pun, hanya memandang setiap gerakan gemulai Lidya. Tapi sayang pertunjukan itu tak berlangsung lama, setelah sekitar sepuluh menit menjemur pakaian, Lidya turun kembali ke lantai bawah. Sang pembantu tersenyum puas, ia memang tidak akan pernah bisa mencicipi keindahan tubuh nyonya tetangga, bagai pungguk merindukan bulan, tapi begini saja dia sudah puas.

Sang pembantu kembali melanjutkan tugasnya memotong rumput dengan senyum tersungging di bibir.

Dari balik jendela kamar, Pak Hasan mengelus-elus dagu sambil mengamati gerak-gerik sang pembantu tetangga. Beberapa saat kemudian terdengar suara langkah kaki Lidya turun dari tangga dan melewati Pak Hasan.

“Nduk, sudah selesai menjemurnya?”

“Sudah, Pak.”

“Omong-omong, apa kamu kenal dengan pembantu tetangga sebelah kiri kita ini?” tanya Pak Hasan sambil menunjuk rumah sebelah dari jendela tempatnya bersandar. “Siapa namanya?”

“Pembantu sebelah? Yang laki atau perempuan?”

“Yang laki.” Pak Hasan menunjuk ke luar jendela. “Itu, yang sedang memotong rumput.”

Lidya melihat keluar jendela dan mengenali sosok sang pemotong rumput. “Mas Marto?” Lidya menatap mertuanya curiga, “Kenapa memangnya?”

Pak Hasan hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. “Ah nggak…”

Ada senyum aneh menghias bibir lelaki tua itu, senyum yang membuat bulu kuduk Lidya berdiri. “Dulu kita pernah jalan-jalan ke mall. Bagaimana kalau besok pagi kita jalan-jalan ke pasar, Nduk?” tanya Pak Hasan sambil menyeringai lebar, “kita bisa beli sayur-sayuran dan ikan segar.”

Mata Lidya terbelalak ketakutan. Ke pasar? Kalau ingat apa yang dilakukan Pak Hasan saat mereka pergi ke mall tempo hari, pergi ke pasar bersama Pak Hasan bisa jadi hal yang menakutkan untuk Lidya.

Pak Hasan terkekeh melihat menantunya panik. Besok pagi pasti akan menyenangkan sekali.

###

Ruang VIP tempat Hendra dirawat sangat sunyi siang itu, Alya dan Dodit yang biasa menemani Hendra turut tertidur karena kelelahan. Alya terlelap di pembaringan penunggu pasien di samping ranjang Hendra, sementara Dodit duduk di kursi. Dodit lebih memilih menemani calon kakak iparnya karena di rumah Anissa bertingkah laku aneh tidak seperti biasanya. Gadis itu juga tidak menjawab SMS maupun misscallnya, entah apa yang telah terjadi kepada gadis tunangannya itu sehingga sikapnya berubah total. Sendirian saja di ruangan yang sepi, Doditpun akhirnya tertidur, ia terlelap sambil duduk di kursi.

Setelah beberapa kali kepalanya tersentak ke bawah, Dodit terbangun dari tidurnya. Saat ini dia masih berada di kamar VIP Mas Hendra. Calon kakak iparnya itu masih tergolek lemah di ranjang rumah sakit, tertidur oleh pengaruh obat yang menenangkan, entah kapan Hendra bisa mulai sadar dan berinteraksi kembali, hari ini kondisi kesehatannya sangat drop dan sempat mengkhawatirkan, namun dokter sudah datang dan mengisyaratkan kalau Hendra hanya harus beristirahat total.

Kamar VIP yang dihuni oleh Hendra memiliki fasilitas berlebih, terdapat satu pesawat televisi, kamar mandi, lemari pendingin, bahkan terdapat satu ranjang tambahan untuk penunggu pasien. Pembaringan itu biasanya dipakai Mbak Alya, kalau harus bermalam, Dodit memilih tidur di lantai beralaskan tikar tebal.

Siang itu Dodit tertidur saat duduk di kursi sementara Mas Hendra dan Mbak Alya terlelap di ranjang masing-masing. Dodit merenggangkan tangan dan menguap lebar-lebar, capek dan pegal sekali rasanya.

Tiba-tiba terdengar suara desahan.

“Ohh… ehhhmmm…”

Suara apa itu? Dodit melirik ke arah Mas Hendra, masih tetap tidur dengan tenang, siapa yang tadi mendesah? Kali ini Dodit melirik ke arah Mbak Alya. Pemuda itu langsung terkesiap dengan pemandangan indah yang ia lihat. Alya yang sedang tidur nyenyak tanpa sadar menarik rok yang ia kenakan hingga tersingkap ke atas. Mungkin sekali, Alya juga tengah bermimpi sedang bermain cinta dengan seseorang karena desahan-desahan erotis kadang terdengar lirih dari mulutnya. Dengan pandangan yang menatap tajam ke arah paha mulus Alya, Dodit menelan ludah.

Berulang kali Dodit mengusap muka dan berusaha menekan hawa nafsunya, pemuda itu sudah mencoba mengalihkan pandangan ke jendela, tabung oksigen, meja, keranjang buah, televisi, tapi tidak ada satupun yang berhasil menghilangkan pikirannya yang mesum pada Mbak Alya. Sekali lagi Dodit melirik ke arah Alya, alangkah indahnya pemandangan yang ia saksikan. Paha mulus Mbak Alya sudah terlihat utuh hingga sampai ke selangkangannya. Sedikit lagi rok itu tertarik ke atas, Dodit pasti bisa melihat celana dalam yang dipakai oleh calon kakak iparnya itu.

Dodit mengerang, batinnya berkecamuk, terjadi perang antara akal sehat dan nafsu birahi. Dodit menggelengkan kepala mencoba menghapus pikiran busuknya. Mbak Alya adalah calon kakak iparnya. Calon kakak iparnya! Pemuda macam apa dia ini? Tidak tahu malu! Sebentar lagi dia akan menikah dengan seorang gadis yang alim dan manis yang telah susah payah menjaga keperawanan hanya untuk dipersembahkan padanya, sedangkan dia malah nafsu melihat keseksian kakak ipar tunangannya. Tidak, Dodit ingin menjadi pria yang baik dan setia bagi Anissa.

Dodit mencari-cari bungkus rokok di dalam kantong sakunya, ia menjumput satu batang, menjepit rokok itu dengan bibir lalu mencari-cari korek gas di dalam saku lain. Satu-satunya cara untuk menghapus pemandangan indah ini adalah dengan merokok di teras di luar kamar dan…

Rokok Dodit jatuh ke atas lantai. Mulutnya menganga.

Rok Alya tersingkap makin naik, seluruh pahanya sudah bisa terlihat dengan jelas, bahkan kini celana dalamnya pun sudah terlihat seutuhnya. Celakanya, calon kakak ipar Dodit itu mengenakan celana dalam yang tipis menerawang sehingga Dodit bisa melihat apa yang ada di balik celana dalam. Mulut pemuda itu menganga karena terkesima, sangat indah! Sangat indah sekali!

Pikiran alim Dodit sudah melesat meninggalkan raganya. Buru-buru pemuda itu mengambil telepon genggamnya dan segera menyiapkan handphone. Ia tidak akan melewatkan pemandangan seindah ini! Mas Hendra dan Mbak Alya sudah sama-sama lelap dan tidak akan sadar Dodit mengambil gambar-gambar seksi calon kakak ipar dengan kamera telepon genggamnya. Pemuda itupun segera menggunakan kamera handphone untuk mengambil gambar paha dan selangkangan mulus Alya dari berbagai sudut.

Setelah puas mengambil gambar, Dodit melangkah masuk ke kamar mandi, mengunci pintu dan membuka celananya. Ia melucuti celana yang ia kenakan berikut celana dalamnya, setelah itu Dodit membasahi kemaluannya dan mengambil sabun. Sambil membuka file gambar yang berisikan pemandangan paha dan selangkangan Alya, pemuda itu memuaskan birahinya dengan mengocok kemaluannya.

“Uhhhhmmm… Mbak Alya… ohhhhmmm… Mbak Alyaaaa…” desahan memanggil nama calon kakak ipar keluar dari mulut Dodit. Seluruh perasaan galau karena selalu gagal menggauli Anis tumpah ruah kali ini dan yang menjadi fantasi pemuda itu tak lain adalah calon kakak iparnya yang sangat seksi.

###

Sambil berlutut di hadapan kaki Anis yang ditutup rapat, Pak Bejo menggeram. “Buka kakimu! Jangan main-main, anak manis! Aku tahu kalau sebenarnya kau merindukan penisku yang keras ini menjejal di dalam liang memekmu, kan?” tangan Pak Bejo menggenggam erat pergelangan kaki Anissa. Gadis muda itu berusaha melawan dan meronta, tapi Pak Bejo terlalu kuat, ia berhasil membuka paha Anis dengan sedikit paksaan.

Anissa mengerang takut ketika Pak Bejo menarik pergelangan kakinya. Kedua kaki Anis kini diletakkan di samping pinggul Pak Bejo. Pantat Anis diangkat dari tempat tidur sementara pria tua itu meremas-remas pantat sang gadis muda yang ketakutan di depannya. Pak Bejo merenggangkan kaki Anis lebih lebar lagi dan ia membungkuk ke depan, membimbing belalainya yang mulai membesar ke arah memek Anis.

Anissa menahan nafas karena takut, ia merasakan kengerian membuncah di dalam hati ketika bibir kewanitaannya bersentuhan langsung dengan kontol besar Pak Bejo. Dengan senyum menggoda, Pak Bejo mengoles-oleskan ujung gundul kemaluannya ke bibir bawah vagina Anis, rangsangan itu membuat cairan cina Anis meleleh tanpa bisa dibendungnya. Pak Bejo menggerakkan kontolnya naik turun dan dengan sengaja dioles-oleskan ke bibir kemaluan sang dara, pria tua itu seakan meratakan cairan cinta yang meleleh di bibir kemaluan Anis ke seluruh bagian bibir vaginanya.

Akhirnya, dengan penuh nafsu, pria tua bejat itu menatap lekat mata Anis. “Saatnya melakukannya, ya sayang?” Pak Bejo terkekeh sadis.

Anissa menggeleng dan mencoba meronta, tapi ia tidak mampu berbuat banyak karena selain kakinya dijerat oleh kaki Pak Bejo, kini giliran kedua lengannya ditahan di sisi ranjang oleh tangan sang lelaki tua bejat. Ingin rasanya Anis berteriak, tapi ia tahu sia-sia saja melawan pria tua menjijikkan ini.

Dengan satu sentakan penuh tenaga, Pak Bejo mendorong penisnya ke depan, masuk ke dalam memek Anissa dengan satu tusukan yang sangat menyakitkan, Anissa melenguh karena kaget dan merasa perih, bibir memeknya terbelah dan vaginanya menelan batang kontol Pak Bejo. Ukuran penis Pak Bejo yang besar memenuhi rapat liang kewanitaan Anis. Tak mau menahan diri lagi, Pak Bejo terus menyorongkan kemaluannya hingga ujung terdalam vagina Anissa.

Terdengar suara kecipak becek memek Anis, tak terasa, seluruh batang kemaluan Pak Bejo telah melesak ke dalam. Anissa menarik nafas yang terasa berat, matanya terbelalak dan ia bisa merasakan ukuran sesungguhnya dari penis Pak Bejo yang kian lama kian membesar di dalam memeknya.

“Hrghhh!! Bisa kau rasakan itu, manis? Memekmu yang rapet meremas-remas kontolku!” Pak Bejo tertawa menghina, “pasti ini pengalaman baru bagimu ya sayang? Enak kan dientoti terus sama Pak Bejo? Kalau sudah merasakan kontolku, aku yakin kamu tidak akan mau disetubuhi calon suamimu yang kontolnya seupil itu!”

“Tidak mauu…” Anissa merintih, kesadarannya mulai melayang karena rasa sakit yang ia rasakan mulai menguasai seluruh tubuhnya. Tangan kotor Pak Bejo merenggangkan bokong Anissa dengan kasar, lalu sambil menggemeretakkan gigi dengan gemas, Pak Bejo menusuk memek Anis sekuat tenaga. Anis memejamkan mata, besarnya ukuran penis Pak Bejo membuatnya merem melek, ia bisa merasakan tiap sudut batang kemaluan pria tua cabul itu, tiap urat yang menonjol, benjolan kecil atau permukaannya yang kasar, semua bisa ia rasakan. Pak Bejo menggiling liang kewanitaan Anis dengan gelombang serangan bertubi-tubi sampai akhirnya ujung gundul kontol Pak Bejo menabrak ujung terdalam liang rahim gadis muda itu.

Anissa mengembik kesakitan, ukuran penis besar milik Pak Bejo membuatnya tak bisa menahan air mata yang mengalir. Seakan-akan sebatang tiang listrik dilesakkan ke dalam kewanitaannya. Sambil meringis kesakitan, Anis berusaha meronta dan melepaskan diri dari tusukan Pak Bejo. Selangkangannya terasa sangat panas dan nyeri, namun ketika dia meronta, gerakannya malah membuat Pak Bejo makin keenakan. Pria tua itu sudah gelap mata dan terus menusuk ke depan, menimpakan seluruh berat tubuhnya ke badan Anissa.

“Oooohhhh, memekmu rapet bangeeet!” Pak Bejo terengah-engah menyetubuhi Anissa. Ia menarik bokong gadis itu ke belakang dan tubuh mereka saling menampar dengan penis yang masih tertanam di dalam vagina Anis. Kemaluan Pak Bejo merenggang hingga ke ukuran terbesarnya, ia menggoyangkan pinggulnya dan menggiling liang kewanitaan Anissa sampai ke dalam leher rahimnya.

“Mas Dodit… maafkan akuuu… a-aku tidak kuat…” desah Anissa dalam keputusasaannya, ia bisa merasakan seluruh tubuhnya bergetar dan menyerah dalam pelukan sang lelaki tua. Ia belum pernah merasakan gelombang kenikmatan seperti ini menyapu seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan, Anissa mulai menggoyangkan pantat agar kemaluan Pak Bejo bisa masuk ke dalam memeknya lebih dalam lagi.

Pak Bejo puas melihat takluknya Anissa. “Enak kan sayang? Enak kan kontolku? Bisa kau rasakan gerakan kontolku di dalam liang rahimmu, sayang? Bisa kau rasakan geliat kontolku di dalam liang yang telah aku perawani? Bagaimana rasanya disetubuhi seorang pria sejati, sayang? Berbaringlah dan rasakan kenikmatan permainan cinta yang sesungguhnya.” Tiap kata yang diucapkan Pak Bejo bagaikan pisau yang menusuk perasaan Anissa, dia terhina sekaligus menginginkannya.

Karena gerakan pantat Anissa itu melambat, Pak Bejo menarik pinggul gadis itu dan memompakan tubuh mungilnya itu ke arah kemaluannya yang masih tertanam di dalam memek. Pak Bejo menarik kemaluannya keluar dari memek Anissa, menimbulkan rasa sakit karena gesekan yang membakar dinding kewanitaan liang cinta Anis. Lalu dengan kecepatan tinggi, pria tua bejat itu menumbuk vagina Anissa tanpa ampun, berulang kali menusuk hingga terdengar suara kecipak campuran air cinta Anis dan penyerangnya.

“Oghh! Ouughhhhh! Ougggggggghh!!” Anissa mengerang tak berdaya. “Ahhhh!! Ahhhh!!”

Detik demi detik berlalu, Anissa memejamkan matanya, gerakan Pak Bejo makin lama makin stabil, dia ingin seperti ini terus, nikmat luar biasa yang berasal dari selangkangannya membuat Anissa terbang ke angkasa, ia tidak ingin Pak Bejo berhenti. Ia ingin terus disetubuhi. Sejenak Anissa lupa, bahwa pria yang tengah memberikan kenikmatan ini bukanlah orang yang pantas menjadi suaminya.

Kontol tua Pak Bejo keluar masuk dengan mantap menyetubuhi memek Anissa yang basah oleh cairan cinta. Ketika membuka matanya, Anissa mengalihkan pandangan ke arah cermin yang berada di meja riasnya. Bayangan yang berada di cermin membuat gadis itu bergidik ngeri. Tubuh gemuk sang pria tua memeluk erat paha Anis sambil memaju mundurkan pinggul untuk melesakkan kemaluan ke dalam vaginanya. Anissa menatap cermin dengan pandangan tak percaya namun pasrah, ia benar-benar sedang disetubuhi oleh Pak Bejo, orang yang juga telah memerawaninya. Yang lebih menyakitkan lagi bagi Anissa adalah, karena Pak Bejo adalah orang pertama yang memerawaninya, ia merasa begitu nikmat bersetubuh dengan pria tua itu, ia ingin lagi… lagi… dan lagi.

Nafas pria tua itu menjadi lebih pendek dan kembang kempis beberapa menit kemudian, begitu juga dengan gerakan maju mundurnya yang makin lama makin cepat. Ujung gundul kemaluan Pak Bejo makin membesar dan bisa dirasakan perubahannya oleh Anissa. Gadis itu membelalakkan mata dengan ngeri, inilah dia saatnya, pria tua itu akan orgasme di dalam vaginanya! Bayangan tubuhnya yang seksi di bawah pelukan lelaki tua gemuk buruk rupa yang menyemprotkan cairan sperma hangat di dalam vaginanya membuat Anissa muak. Apa yang akan terjadi seandainya ia hamil nanti?

“Ja-jangan di dalam… jangan… aku tidak mau hamil…” protes Anissa di sela-sela desahan nafsunya.
“Diam saja, anak manis.” Sergah Pak Bejo.

Saat yang dinanti pun tiba, Pak Bejo mengangkat kepalanya dengan penuh kenikmatan, ia melolong pelan dan bulat matanya berputar ke belakang hingga hanya bagian putihnya saja yang terlihat. Pria tua itu benar-benar mengalami sensasi kenikmatan yang luar biasa. Anissa memang kalah jelita dibanding Alya yang jauh lebih feminin dan lebih matang, tapi vaginanya yang masih rapat memberikan kenikmatan hingga ke atas awan. Pak Bejo memeluk Anis erat-erat dan menyemprotkan semburan hangat air maninya ke dalam memek dara muda yang basah itu. Anissa hanya bisa terisak histeris karena dia tidak ingin hamil oleh sperma pria busuk ini.

Pak Bejo ambruk ke atas tubuh Anissa. Gadis itu masih terus terbaring di bawah tubuh Pak Bejo yang gemuk sambil menangis sesunggukan. Ia bisa merasakan kontol Pak Bejo yang masih tertanam di dalam liang rahimnya perlahan mengulir keluar. Mereka terdiam seperti itu untuk beberapa saat lamanya sampai Anissa mulai merasakan berat tubuh Pak Bejo membebaninya. Dengan tenaga yang tersisa, Anis bergerak ke samping mencoba melepaskan diri dari pelukan Pak Bejo. Lelaki tua itu mengerang malas dan ambruk ke samping dengan wajah memerah karena kelelahan.

Puas sekali rasanya ia bisa menikmati tubuh Alya dan adik iparnya, Anissa. Dua hari ini Pak Bejo merasakan nikmatnya hidup bagai seorang raja yang memiliki banyak harem. Suara berkecipak menandai lepasnya kemaluan lelaki tua itu dari bibir vagina Anis, air cinta yang bercampur di dalam memek Anispun ikut menetes keluar, leleh seakan menangis.

Anissa memejamkan mata di samping Pak Bejo tanpa berani mengeluarkan sepatah kata, gadis cantik itu terbaring dengan kaki yang terbentang lebar usai digauli dan air mata yang mengalir deras membasahi pipi. Pak Bejo meringis puas sambil menatap tubuh telanjang Anissa dari kepala hingga ke ujung jempol kaki. Keindahan tubuh gadis muda ini telah menjadi miliknya.

“Bagaimana rasanya disetubuhi pria tua seperti saya, Non Anis?” Pak Bejo terkekeh puas, “Kok diem aja? Pasti enak ya merasakan penis besar seperti yang aku punya? Kalau nggak percaya, coba saja rasakan punya Dodit, pasti kalah. Berani jamin.”

Sambil tertawa terbahak-bahak, tangan Pak Bejo maju ke depan, menyelip di antara paha Anis yang basah dan menangkup bukit kemaluan lembut gadis itu. Anissa terisak lagi tanpa bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa membiarkan jari jemari nakal Pak Bejo mempermainkan bibir vaginanya. Pria tua itu membuka lebar-lebar bibir kemaluan Anissa sampai-sampai gadis itu merasa risih, apalagi cairan cinta bercampur sperma Pak Bejo masih meleleh keluar dari sela-sela bibir kemaluan Anissa.

“Wah wah! Banyak juga tadi aku nyembur, kasihan sekali kamu, anak manis. Hahaha.” Pak Bejo tertawa melihat spermanya yang putih kental meleleh keluar dari memek gadis yang baru saja ia gauli. Pria tua bejat itu berdiri meninggalkan ranjang, kontolnya yang besar terkibas kesana sini. Setelah mengenakan celana dan baju, Pak Bejo melirik ke arah Anissa dengan pandangan jumawa.

Untunglah kemudian Pak Bejo memutuskan untuk meninggalkan Anissa. “Tubuhmu lezat sekali rasanya, anak manis. Besok pasti aku datang lagi untuk mencicipimu. Siapkan memekmu dan usahakan kali ini lebih bisa mengimbangi permainanku, jangan diam saja seperti kayu. Hahaha.” Tawa Pak Bejo bagaikan pisau yang mengiris-iris perasaan Anissa. Pria tua yang menjijikkan itu bahkan masih tetap tertawa saat telah melangkah keluar dari kamar Anis, seakan-akan kata-katanya yang cabul adalah hal yang sangat lucu baginya.
Setelah Pak Bejo pergi, Anis berlari ke kamar mandi. Selangkangan gadis itu terasa panas dan gatal, bibir vaginanya membengkak dan basah oleh air mani Pak Bejo. Ia merasa sangat kotor. Anissa jongkok di pojok kamar mandi dan membiarkan air shower menghujani tubuhnya tanpa henti, jari-jarinya bergetar saat ia membuka perlahan bibir vaginanya yang masih terasa sakit, sperma Pak Bejo menetes dari dalam liang cintanya.

Anis ingin menyemprot bersih-bersih kemaluannya dengan air tapi gadis itu tahu semprotan air yang masuk malah akan mendorong dan memperbesar peluang sperma itu membuahi sel telurnya, ia bukan gadis bodoh. Gadis itu terdiam di pojok sambil berharap sperma Pak Bejo sudah keluar semua dari memeknya.

Matanya sembab karena tak berhenti menangis. Ia bingung, ia ingin bertemu sekaligus ingin berpisah dengan Dodit, ia merasa kotor dan tak berharga lagi baginya, ia hanyalah seorang gadis yang sudah kehilangan kesucian akibat diperkosa seorang lelaki tua yang tidak akan bertanggung jawab.

Tak kuat rasanya gadis itu menanggung semua beban, ingin rasanya ia bunuh diri saja.

###

Pagi itu tidak seperti biasanya, terik panas mentari lebih panas dari biasanya. Keringat lebih cepat menetes walaupun baru berjemur beberapa menit di bawah sinar matahari. Beberapa orang pemuda berkulit gelap menurunkan karung-karung berisi beras dari mobil bak tanpa mengeluh, sementara di bawah, seorang pria berusia paruh baya menghitung karung dan meletakkannya di timbangan besar di mana seorang lelaki lain mengukurnya. Pria paruh baya itu berulang kali mengelap keringat yang menetes dari dahi dengan menggunakan handuk kecil yang ia selampirkan di leher, berkali pula ia menarik topi kerucut yang ia kenakan dan ia kipas-kipaskan ke wajah untuk memberikan angin.

“Panas banget si… hari ini.” keluh sang pria paruh baya.

“Iya bang, kali panas ini gara-gara pemanasan glo… apa tuh… yang disebut-sebut di tipi itu ya?” timpal sang pengukur timbangan.

“Pemanasan global kali maksudnya?” jawab sang pria paruh baya sambil mengerutkan kening.

“Iya yah? Saya sih gak maksud, bang. Ya itu yang dibilang sama abang itu.” Sang pengukur timbangan tersenyum dan tersipu malu.

Sang pria paruh baya menepuk-nepuk pundak sang pengukur timbangan. Tiba-tiba saja satu sosok wanita berkelebat melalui mereka, sosok yang membuat kedua orang itu dan para pemuda yang sedang menurunkan karung beras berhenti bekerja karena takjub.

“Buset! Apaan tuh yang barusan, bang?” tanya sang pengukur timbangan sambil mengucek mata. “Beneran kagak yang lewat? Beneran yah?”

Sang pria paruh baya menatap ke arah sosok yang lewat sambil geleng-geleng tak percaya. “Beneran, Jo. Gila. Yang baru lewat itu beneran.”

Apa yang membuat kedua orang itu dan para pemuda yang sedang menurunkan beras terpukau?

Sosok wanita yang baru saja melewati mereka adalah sosok Lidya. Kali ini menantu Pak Hasan itu mengikuti kemauan gila sang mertua dengan mengantarkannya berjalan-jalan di sebuah pasar kecil yang berada sedikit jauh dari rumahnya. Lidya tidak mau mengambil resiko berjalan-jalan di pasar besar yang berada di dekat rumah karena takut akan ketahuan beberapa orang kenalan atau tetangga.

Sambil menggandeng mertuanya yang tersenyum bangga, Lidya berlenggak-lenggok di lorong-lorong pasar sambil memutar pinggulnya, dia sebenarnya malu sekali melakukan ini di depan orang-orang pasar, tapi mertuanya yang bejat memaksanya tanpa kenal ampun. Seperti waktu berjalan-jalan di mall, Lidya mengenakan baju yang sama sekali tidak sepantasnya dikenakan sewaktu masuk ke dalam pasar.

Lidya hanya mengenakan sebuah kemeja kecil putih yang sangat pas dengan lekuk tubuh atasnya dengan memakai BH berukuran mini dan tipis. Ukuran kemeja yang terlalu kecil mencetak keindahan lekuk tubuh Lidya untuk santapan mata para lelaki yang saat itu berada di dalam pasar. Mata mereka mengikuti gerak tubuh Lidya bagaikan seorang penonton pertandingan tenis yang mengikuti gerak arah bola. Buah dada Lidya bergerak naik turun tanpa bisa dikendalikan seiring gerakan lenggok pantatnya yang bergerak dengan sempurna. Karena sempitnya pakaian dan tipisnya bh yang ia kenakan, orang bisa melihat ujung puting buah dada Lidya menjorok ke luar seakan minta diselamatkan dari sempitnya pakaian yang ia kenakan. Ukuran buah dada Lidya yang besar membuat pakaian itu sulit dikancingkan, ia hanya bisa pasrah seandainya ada orang yang dengan sengaja mengintip-intip buah dadanya melalui sela-sela kancing yang terbuka.

Selain mengenakan pakaian sempit dengan BH tipis, Pak Hasan memaksa Lidya mengenakan rok pendek yang terlalu mini untuk wanita setinggi Lidya, kakinya yang jenjang melangkah melalui lorong pasar tanpa dilindungi apapun. Pahanya yang putih mulus seperti pualam menimbulkan decak kagum sekaligus birahi yang makin memuncak dari para penjual, khususnya yang berjenis kelamin lelaki. Rok mini Lidya hanya bisa melindungi kira-kira beberapa cm saja dari selangkangannya, jika menantu Pak Hasan itu memaksa jongkok atau membungkuk, orang yang berada di depan atau belakangnya bisa melihat celana dalam jaring-jaring yang ia kenakan. Jaring-jaring itu tidak melindungi apapun, karena seandainya cermat melihat dan mengamati, bibir vagina Lidya akan terlihat jelas dan membayang.

Lidya bersyukur dia diijinkan mengenakan kacamata hitam, karena dengan begitu dia bisa menyembunyikan air mata dan bersembunyi dari pandangan mesum seluruh lelaki buas yang berada di pasar. Berbeda dengan keadaan saat mereka berjalan-jalan di mall tempo hari, kala itu banyak lelaki yang melirik namun malu-malu memandang. Tapi kini, hampir semua lelaki memandang ke arahnya tanpa rasa malu, bahkan beberapa orang menyiulinya dan berkomentar menjijikkan.

“Pak, sudah ya pak… kita pulang saja… aku takut… malu…” bisik Lidya pada sang mertua yang menggandengnya.

“Ayolah, sayangku. Kita sudah pernah melakukan ini kan? Kenapa harus malu?”

“Tapi itu kan di mall, ini pasar… lagipula…”

“Hh… apa bedanya mall dengan pasar?” senyum lebar menghiasi wajah menjijikkan Pak Hasan. Lidya langsung tahu usahanya sia-sia saja.

“Jangan berhenti melenggokkan pantatmu, pastikan orang yang berada di belakang bisa melihat lenggokanmu yang panas itu, Nduk.” Kata Pak Hasan sambil terkekeh pelan.

Saat berjalan-jalan di mall dulu, Lidya bahkan tidak mengenakan bra, tapi saat ini, saat ia masih mengenakan pakaian dalam, Lidya merasa lebih parah. Orang-orang yang berada di pasar kecil ini sebagian besar adalah masyarakat menengah ke bawah yang tidak pernah melihat pertunjukan heboh semacam ini, keberadaan Lidya mengundang banyak orang untuk melihat. Ia bagaikan seorang bintang sinetron yang sedang dikejar-kejar oleh banyak wartawan.

Bisa dibilang, mungkin di seantero pasar, tubuh seksi Lidya tidak ada yang bisa menyaingi. Rambutnya yang panjang dan indah seperti cewek cantik di iklan shampo, kulitnya yang putih bersih seperti pualam bagaikan bintang iklan sabun, kecantikannya yang di atas rata-rata seakan bagaikan bidadari yang turun dari langit, dan yang lebih hebat lagi, keseksian tubuhnya yang tak bisa disangkal siapapun juga sangat menggugah nafsu birahi.

Seorang penjual ayam potong hampir kehilangan jari-jarinya gara-gara tak berkonsentrasi saat memotong daging ayam yang dibeli oleh seorang ibu-ibu. Seorang kuli yang sedang mengusung plastik besar berisi makanan anak-anak bertabrakan dengan kuli lain yang sedang membawa plastik berisi sayuran. Seorang penjaja makanan kecil berkali-kali merobek plastik hingga bertaburan karena tak bisa berkonsentrasi. Singkat kata, kehadiran Lidya benar-benar membuat heboh pasar kecil itu.

Sebelum datang kemari bersama Lidya, Pak Hasan sudah melakukan survey terlebih dahulu. Dia tahu pasti kalau di pasar kecil ini banyak pemuda dan para penjaja yang sering berkumpul di sebuah tempat bilyard kecil yang ada di ujung pasar. Disanalah tempat sebagian besar laki-laki penghuni pasar berkumpul, dan kesanalah ia akan mengajak Lidya.

Hati Lidya berdegup tak menentu, dia diam saja digiring oleh sang mertua ke tempat paling ujung di pasar. Dia makin ketakutan dan panik namun tak berdaya setelah melihat di tempat yang dituju mertuanya ternyata banyak laki-laki yang berkumpul, jangan-jangan mertuanya membawanya ke sarang preman pasar?

Lokasi tempat permainan bilyard itu sedikit masuk ke gang dan tidak bisa dilihat dari luar ataupun dari pasar. Hampir semua penjual di pasar, khususnya yang laki-laki, nongkrong di tempat ini. Beberapa meja bilyardnya sendiri sudah rusak dan tidak bisa dipakai sempurna, tapi tetap saja banyak orang yang berkumpul di ruangan ini untuk bermain judi kartu. Alangkah kaget orang yang sedang berkumpul di ruangan itu tatkala Pak Hasan dan menantunya yang aduhai masuk ke ruangan dengan nekat. Lidya berusaha menutup bagian dadanya dengan lengan dan berulangkali membenahi roknya yang naik ke atas, tentunya usaha itu sia-sia.

“Selamat sore, nama saya Hasan dan saya ingin ‘mengamen’ di sini.” Kata Pak Hasan di tengah-tengah keramaian orang yang memandangnya heran dan galak. “Saya tidak akan menyanyi atau bermain gitar, tapi menantu saya ini hendak menghibur anda-anda semua dengan menari. Ada yang mau lihat?”

Sontak kumpulan orang itupun ramai, mereka berteriak-teriak dengan girang mengiyakan, Lidya makin kecut nyalinya melihat buas dan beringasnya orang-orang yang berada di tempat itu.

“Bapak sudah gila? Aku disuruh menari di depan orang-orang ini? Bagaimana kalau mereka nanti hilang akal dan memperkosaku? Apa masih belum cukup bapak memperlakukan aku seperti pelacur? Aku bersedia masuk ke pasar dengan pakaian seminim ini dengan syarat tidak akan ada orang yang menyentuhku lagi.” bisik Lidya pada mertuanya dengan geram, “Aku tidak mau melakukannya! Pokoknya tidak!”

“Kau harus menari di depan mereka! Ingat perjanjian kita? Hari ini peran yang sedang kau jalani adalah sebagai budakku dan bukan istri anakku! Semua permintaanku harus kau turuti!” Bisik Pak Hasan di telinga Lidya sambil menggenggam lengan menantunya itu dengan sekuat tenaga, Lidya mengernyit kesakitan karenanya, “Menarilah dengan erotis, jangan lupa beri servis lebih pada mereka, tidak perlu striptease, cukup buka baju dan rokmu itu, lalu goyangkan dada dan pantat pasti sudah cukup untuk membuat mereka puas.”

“Ini gila… aku tidak mungkin…”

“Tidak mungkin apa, Nduk?”

Geram hati Lidya, tapi apa yang bisa ia lakukan di hadapan serigala-serigala lapar ini? Dia hanya bisa berlindung pada Pak Hasan, jadi apapun yang dia minta harus diturutinya.

“Baiklah, tapi janji tidak akan membiarkan mereka melakukan apa-apa padaku.” Bisik Lidya lagi. Wajahnya yang tadinya keras berubah pasrah, ini sangat menggembirakan bagi Pak Hasan. Sebaliknya bagi Lidya, mimpi buruk menjadi kenyataan. Di siang bolong begini, di dekat pasar, di sebuah kios kosong yang kotor tempat para lelaki kasar biasa bermain bilyard, Lidya harus menari bagi mereka. Memang dia tidak akan benar-benar telanjang, tapi menari hanya dengan BH tipis dan celana dalam menerawang di depan banyak lelaki buas seperti ini sama saja seperti menari telanjang, sama saja parahnya.

“Tidak akan ada satu penispun yang masuk ke dalam memekmu hari ini kecuali milikku.” Bisik Pak Hasan, kata-kata itu menusuk perasaan sekaligus menenangkan Lidya, membuat wajahnya memerah. Lidya ingin menangis rasanya, tapi sangat takut Pak Hasan akan main kasar kalau sampai dia mengembik meminta ampun, karena itu dipendamnya semua perasaannya. Tubuh wanita cantik itu gemetar karena ketakutan. Lidya menundukkan kepala karena malu yang luar biasa, wajahnya memerah dan keringat dinginnya mengalir tanpa henti, tangannya meremas-remas pinggiran rok mininya dengan cemas.

“Siapa yang ingin menonton si cantik ini bergoyang? Silahkan menikmati pertunjukan gratis ini!” kata Pak Hasan, dia meletakkan satu tape kecil yang memang sudah sedari tadi ia siapkan di atas meja bilyard kosong. Tombol play ditekan, lagu dangdutpun mengalun.

“Goyang! Goyang! Goyang!” hampir bersamaan, para penonton berteriak-teriak.

“Ingat, selalu sunggingkan senyum. Buka bajumu sambil melenggak-lenggok seperti penari striptease, cukup sampai bh dan celdam saja, tidak perlu telanjang. Kalau kamu tidak mau melakukannya, aku akan meninggalkanmu seorang diri di tempat ini dan menyerahkanmu pada orang-orang itu… bagaimana?” bisik Pak Hasan pada Lidya. Istri Andi itu mengangguk, bukankah ia hanya bisa pasrah?

Setelah Lidya menganggukkan kepala tanda tunduk, dengan terpaksa ia menyunggingkan senyum pada orang-orang yang berkeliling menonton keindahan tubuhnya. Ketika Pak Hasan memperbesar volume musik yang sedang berdendang, Lidya mulai menggoyangkan badannya. Goyangan pinggul dan pantat bulat si cantik itu langsung menghipnotis dan mempesona tiap orang yang menonton. Wajah mereka langsung memerah menahan nafsu melihat wanita secantik Lidya melenggak-lenggok memancing birahi. Teriakan mesum dan siulan nakal bergema silih berganti, kata-kata kotor terlontar mengomentari kemolekan Lidya. Kebetulan dulu saat masih kuliah, Lidya pernah mengikuti kursus modern dance.

“Buka! Buka! Buka!” teriak orang-orang yang berada di situ. Tidak ada pilihan lain bagi Lidya. Lebih baik membuka pakaiannya sendiri sebelum para preman itu malah memaksanya telanjang nanti. Dengan gerakan perlahan dan sedikit meliuk-liukkan badan sesuai irama lagu, Lidya melucuti baju tipis menerawang yang ia kenakan. Payudaranya yang sentosa menggelinjang erotis dalam balutan bh tipis berwarna putih. Guncangan buah dada Lidya memompa birahi para penjual sayur dan buah-buahan, ingin rasanya mereka melihat balon buah dada Lidya meloncat keluar dari ketatnya bh yang menutupnya.

Dengan wajah merah karena malu dan keringat deras mengalir, Lidya mulai melucuti rok mini yang ia pakai dan melemparkannya pelan ke pojok ruangan. Istri Andi yang cantik jelita itu kini berdiri hanya mengenakan kutang dan celana dalam di sebuah bilik kecil tempat para preman pasar asyik bermain bilyar. Beberapa orang penonton yang berada di ruangan itu pun bersorak sorai dan bertepuk tangan melihat kemolekan Lidya. Dengan goyangan erotis yang mengundang syahwat, Lidya berlenggak-lenggok mengikuti irama lagu. Lidya sengaja beberapa kali memejamkan mata karena tak kuat menahan diri yang ingin menangis menari setengah telanjang di hadapan mata para lelaki buas yang menatapnya penuh nafsu. Pantat Lidya yang bulat sempurna dan montok bergerak-gerak erotis mengikuti lenggokan pinggulnya sementara buah dadanya berulang kali meloncat-loncat seakan mau copot dari ikatan ketat kaitan BHnya, penonton berseru meminta Lidya mendekat supaya mereka bisa meremasnya sekali atau dua kali, tentu saja seruan itu selalu ditolaknya.

Setelah hampir tiga lagu Lidya melenggak-lenggok di ruangan sempit yang gelap dikelilingi oleh sekelompok lelaki kasar, akhirnya Pak Hasan menyuruhnya berhenti. Tubuh si cantik itu basah kuyup dihujani keringat yang deras mengalir sampai-sampai tubuhnya yang seputih pualam bagai digosok sampai mengkilat. Tepuk tangan meriah sedikit mengagetkan Lidya, pria-pria buas dan kotor yang baru saja menyaksikannya menari terlihat bagaikan serigala kelaparan yang sudah siap menubruknya.

“Huibat sekali neng geulis ini menari, hayo dilanjutkeun! Kenapa berhenti? Merangsang pisan euy…” kata Pak Somad yang sehari-hari berjualan buah-buahan segar.

“Maaf, saudara-saudara semua, tapi pertunjukannya cukup sampai di sini dulu. Kalau ingin lanjut dan ingin lebih kenal dekat dengan menantu saya ini, silahkan menghubungi saya, tapi tentunya ada ongkos yang harus dibayar dan belum tentu semua orang akan saya ijinkan mendekatinya.” Kata Pak Hasan sambil tersenyum puas melihat orang-orang yang menonton aksi Lidya menjadi gelisah karena kecewa. Ia melemparkan baju dan rok yang tadi dipakai Lidya untuk dikenakan kembali.

“Yaaaah… masa cuma segitu doang? Nanggung nih ngacengnya!” keluh Pak Ramin si penjual gorengan disusul makian teman-temannya yang juga kecewa, tangan kirinya masih terselip masuk di dalam celana, tangan itu tadinya ia gunakan untuk mengocok si kecil dengan paksa, akhirnya tangan itu ditarik keluar dengan kecewa. Pemandangan indah adegan tari striptease Lidya memang membuat pria itu tadinya tak tahan, dia tak peduli kalaupun harus coli di depan teman-temannya.

“Terima kasih atas perhatian saudara-saudara sekalian. Demikianlah akhir dari pertunjukan ini.” Pak Hasan tersenyum lebar mendengar nada kecewa yang menggema di ruangan kecil itu, “dia ini menantu saya, boleh dilihat, tidak boleh dipakai.”

“Ka-kalau ada yang pengen ngentot? Bayarnya berapa ya, Pak?” tanya Pak Ngadi si penjual mainan anak-anak, dari tadi dia blingsatan melihat Lidya menari-nari, kecantikan dan kemolekan Lidya membuat Ngadi lupa pada anak istri, dengan bergetar Ngadi membuka kantong plastik berisi uang ribuan yang sudah beberapa hari ini dia kumpulkan untuk istri di rumah dan modal berjualan mainan esok hari.

Teman-teman Pak Ngadi tertawa mendengar pertanyaan itu, termasuk Pak Ramin. “Wah -wah, Ngadi… Ngadi! Jangan belagu kamu, punya duit dari mana? Emang ngewe cewek secakep ini murah? Mau kamu bayar pake apa? Utangmu gopek sama si Slamet aja belum dibayar dari bulan kemarin!”

Ngadi pun menunduk malu sambil melangkah ke belakang. Menggantikan posisinya kini adalah Abah Aseng, juragan beras di pasar itu. Pria keturunan bertubuh gemuk itu mendekati Pak Hasan. “You minta berapa duit? Aku mau pakai dia satu jam. Berapapun harganya aku bayar.”

“Ha ha ha… aduh, Abah Aseng! Masa cuma sejam?” Pak Ramin ribut lagi. “Bayarnya sih kuat, otongnya yang gak kuat… ha ha ha…”

Kumpulan lelaki mesum itu langsung ramai penuh tawa, tapi Abah Aseng yang sudah biasa menghadapi mereka segera menjentikkan jari. Dua orang laki-laki bertubuh besar dan berwajah sangar mendekati Pak Ramin. Penjual gorengan itu langsung mundur teratur tanpa berani berkomentar macam-macam lagi. Abah Aseng ternyata membawa dua premannya yang terkenal ganas.

Pak Hasan menggelengkan kepala. “Sepertinya semua orang di sini belum mendengar apa yang tadi saya sampaikan ya? Dilihat boleh, dipakai jangan.”

Abah Aseng tidak terima begitu saja, dia menjentikkan jari sekali lagi. Dua premannya mendekati Pak Hasan dengan pandangan mengancam. “Ayolah, Pak.” Kata Abah Aseng. “Dipikir dulu, aku kan pakenya ndak lama. You malah mestinya terima kasih, aku mau pake barang you itu. Jadi gimana? Aku bayar berapapun ndak masalah. Tapi kalau you ndak tau terima kasih, ya aku ndak tanggung jawab kalau nanti anak-anak turun tangan. You pikir you siapa bisa seenaknya masang cewek di pasar ini? You kan sudah tua, lebih baik tidur saja di rumah, biar aku yang rawat anak manis ini.”

Dengan kurang ajar Abah Aseng mencolek dagu Lidya. Si cantik yang sedari tadi ketakutan dan terdiam itu menjerit ketakutan, ia segera berlindung di balik tubuh Pak Hasan.

Pak Hasan tersenyum sinis. “Saya memang sudah tua, tapi kalau cuma dua preman kelas teri begini, saya sendirian masih sanggup menghadapi. Saya tidak datang ke pasar ini tanpa persiapan terlebih dahulu.” Dengan sigap Pak Hasan maju ke depan dan mendekati Abah Aseng, tangannya bergerak dengan cepat, masuk ke selangkangan sang juragan beras dan mencengkeram kantung kemaluannya tanpa bisa dicegah. Abah Aseng langsung berteriak kesakitan, suasana pasar yang tadinya ramai berubah menjadi senyap saat Abah Aseng menjerit-jerit.

Dua preman yang tadinya sigap jadi kebingungan, saat mereka maju, Pak Hasan mencengkeram lebih erat lagi. “Kalau dua preman itu nggak mundur, saya remuk bola Abah, bagaimana?”

Abah Aseng mengangguk-angguk dengan cepat, dia sangat kesakitan. Dengan gerakan tangan melambai, Abah Aseng menyuruh dua premannya meninggalkan tempat itu. Kelompok kecil itu bersorak-sorai, baru kali ini ada orang yang berani melawan Abah Aseng. Mereka puas karena selama ini selalu menjadi bulan-bulanan dua preman sang juragan beras. Abah Aseng segera lari terbirit-birit karena malu di bawah sorak sorai para penjual.

“Baiklah, karena hari ini saya sedang gembira, saya akan memberi kesempatan pada satu orang untuk ikut bersama kami dan menikmati keindahan tubuh menantu saya ini. Orang tersebut akan dipilih sendiri oleh menantu saya dan dia akan mendapatkan servis gratis tanpa ditarik biaya apapun. Siapa yang mau?”

Semua orang yang sedang berkumpul di tempat itu menunjukkan jari ke atas. Semua mau dipilih, semua ingin mendapatkan servis gratis, semua ingin mencicipi kemolekan wanita cantik kelas atas seperti Lidya. Siapa yang menolak?

“Siapa yang kau pilih, Nduk?” tanya Pak Hasan pada menantunya yang sedang sibuk mengenakan kembali pakaiannya, “harus dipilih salah satu.”

Lidya gelagapan karena bingung, mana kiranya yang harus dipilih? Wajah mereka kasar, rata-rata berkulit coklat gelap dan penampilannya jelas tidak ada menarik, mereka juga sangat bau dan tidak kenal sopan santun. Mana yang harus dia pilih?

“A-aku tidak…” Lidya menggelengkan kepala, dia menolak kalau harus melayani satu di antara para penjual dan preman ini.

Wajah Pak Hasan mengeras dan pandangannya berubah galak, Lidya tahu apa artinya perubahan wajah mertuanya itu, dia harus memilih.

“Siapa yang kau pilih, Nduk?” tanya Pak Hasan sekali lagi dengan suara tegas.

“Di… dia.” Lidya menunjuk Pak Ngadi, sang penjual mainan anak-anak.

###

Hari ini Alya terlalu lelah, ia memutuskan untuk istirahat dan membiarkan Dodit dan Anissa yang menjaga Hendra di rumah sakit. Ia ingin di rumah saja bersama Opi, beruntung sekali Pak Bejo dan istrinya harus pergi sehingga dia aman dari gangguan lelaki tua tengik itu. Wanita cantik itu duduk di teras depan rumahnya sembari melamun menatap awan yang beriringan di langit.

Alya menghapus airmatanya yang meleleh tanpa henti sedari tadi. Apa yang harus mereka lakukan sekarang? Hidupnya hancur berantakan, suaminya cacat dan tak akan bisa bekerja dan beraktifitas seperti sebelumnya, dirinya telah ternoda oleh perbuatan kotor Pak Bejo dan menjadi hamba seks tetangganya yang cabul itu. Bagaimana mereka akan melalui semua ini? Alya menundukkan wajahnya dan menangis tersedu-sedu, hampir satu jam ia tak bergerak, hanya menangis dan melamun.

Kecelakaan parah yang menimpa Hendra membuat Alya dan Opi sedikit kerepotan kalau hendak bepergian, sepertinya, mereka akan membutuhkan tenaga pekerja baru sebagai seorang sopir. Alya jelas tidak mau memperkerjakan Pak Bejo yang berhati busuk itu. Dimanakah ia bisa menemukan seorang driver yang dapat dipercaya?

Setelah satu jam berlalu, terdengar suara denting keras dan Alyapun mulai sadar kembali dari lamunannya, ternyata langit sudah gelap dan hari telah sore. Dentingan suara apakah yang telah menyadarkan Alya?

Suara apa itu? Alya menengok ke arah asal dentingan. Rupa-rupanya dentingan suara mangkok seorang penjual bakso keliling.

“Bakso, bakso. Baksonya, Mbak?”

Seorang penjual bakso bertubuh kurus dan berkulit hitam tersenyum pada Alya, penjual bakso itu bernama Paidi.

###

Ngadi menganga melihat rumah Lidya. Dia kagum sekali, ternyata Lidya adalah seorang wanita yang mapan dan berkecukupan, tinggal di kawasan perumahan kaum menengah ke atas yang tenang dan asri. Apa yang dia lakukan bersama seorang bandot tengik seperti Pak Hasan? Kalau tidak salah, kata pria tua itu wanita cantik ini adalah menantunya? Orang gila seperti apa yang melacurkan menantunya pada orang-orang pasar? Sudah kacau dunia ini.

Tapi segila-gilanya dunia, Ngadi masih waras, dia masih mau ditawarin tubuh ranum seperti milik Lidya, dia belum gila.

Duduk di ruang tamu selama setengah jam seorang diri membuat Ngadi melamun. Penjual mainan anak-anak itu tak puas-puasnya mengagumi isi rumah Lidya dan Andi. Berkali-kali ia menggelengkan kepala saat melihat foto mesra pasangan Lidya dan Andi, sungguh sayang wanita secantik Lidya jatuh ke tangan bandot tua seperti Pak Hasan.

“Bagaimana, Pak Ngadi? Sudah siap?” tanya Pak Hasan seraya turun dari tangga, “jamunya sudah diminum?”

Ngadi menganggukkan kepala, dia memang belum berganti pakaian dan membersihkan diri, tapi dia sudah tidak sabar lagi ingin menyantap hidangan utama yang sedari tadi sudah ditawarkan oleh Pak Hasan yaitu tubuh Lidya, sang nyonya rumah.

Pak Hasan tersenyum melihat ketidaksabaran Ngadi yang buru-buru berdiri. “Sabar… kalau ingin diservis menantu saya, tentunya Pak Ngadi harus mandi dulu yang bersih.”

“Ma… mandi?”

“Iya, Lidya sudah menunggu di kamar mandi atas, diharapkan Pak Ngadi mau mandi bersamanya. Silahkan.”

Mulut Ngadi menganga lebar tak percaya. “Mak… maksudnya mandi bareng Mbak Lidya?”

Pak Hasan mengangguk.

Mimpi apa Ngadi semalam? Mimpi kejatuhan durian mungkin? Setelah seharian hanya bisa melamunkan kecantikan Lidya, dia tidak menyangka akan diberi kesempatan mandi bersama wanita yang secantik bidadari itu. Benar-benar beruntung dia hari ini!

“Be-bener ini, Pak? Saya nggak mimpi kan?” Ngadi masih belum mempercayai keberuntungannya, “ng-nggak perlu bayar?”

“Nggak perlu bayar. Tapi ingat, hanya sekali ini saja.” Kata Pak Hasan sambil menepuk-nepuk pundak Pak Ngadi. “Oh iya, Pak Ngadi, meski gratis pegang apa saja, tapi tetap tidak boleh penetrasi. Memeknya tidak boleh diganggu-gugat oleh kemaluan Pak Ngadi, mengerti?”

“Wa-wah… sudah boleh mandi bareng saja saya sudah senang, Pak. Saya nggak akan minta macam-macam.” Kata Pak Ngadi jujur, penjual mainan anak-anak itu benar-benar sudah tidak ingat lagi pada anak istri. Siapa sih yang tidak mau ditawari mandi bersama seorang bidadari?

Dengan diantarkan oleh Pak Hasan, Ngadi berjingkat menuju kamar mandi yang terletak di kamar atas, kamar tempat pasangan suami istri Lidya dan Andi menghabiskan waktu bersama. Kamar itu sangat bersih dan harum, wangi semerbak juga tercium dari pintu kamar mandi yang terbuka lebar. Pak Ngadi menahan nafas saat dia perlahan memasuki kamar mandi yang sudah terbuka.

Tubuh indah Lidya terpampang jelas di depan matanya. Si cantik itu telanjang! Pak Ngadi terbelalak tak percaya, ini semua benar-benar terjadi?

Lidya berdiri bersandar ke tembok dengan wajah menunduk malu dan lengan yang menutup buah dada dan kemaluannya. Walaupun begitu, di bawah guyuran air shower yang membasahi sekujur tubuh indahnya, Pak Ngadi bagaikan menatap keindahan seorang dewi.

Kejadian ini tentu saja disaksikan oleh Pak Hasan yang terus memantau di dekat pintu, dia selalu berada di belakang Pak Ngadi tanpa mau bergerak melindungi menantunya. Pria tua itu bahkan memberi kode pada Lidya untuk menarik tubuh Pak Hasan mendekat.

“P-pak Hasan ma-mau mandi?” Lidya terbata-bata. Dia tahu seharusnya dia mengucapkan kata-kata itu dengan suara semanja dan seseksi mungkin, tapi Pak Ngadi bukanlah suaminya, dia tidak mungkin bersikap manja pada orang tak dikenal berwajah buruk dan sekotor Pak Ngadi. Tapi bagi Ngadi, suara yang keluar dari mulut Lidya itu bagaikan nyanyian merdu seorang bidadari.

“I-iya… saya mau mandi.” Kata pria tua itu tergagap.

“Ma-Mau mandi b-bersama?” ajak Lidya. Berulangkali dia menatap Pak Hasan yang berdiri di pintu agar mau menyelamatkannya dari situasi canggung ini, tapi Pak Hasan bergeleng tanpa ampun. Hanya satu jalan keluar bagi Lidya, yaitu mempercepat semuanya agar segera selesai. Dengan gerakan pelan yang sangat erotis, Lidya mendekati Pak Ngadi.

Pria tua yang biasa menjual mainan anak-anak itu melotot dan menatap tak percaya gerakan tubuh Lidya, payudaranya yang besar dan kencang bergerak menggelombang ketika si cantik itu berjalan. Lidya kini tak peduli lagi apakah tubuhnya yang telanjang terlihat jelas atau tidak. Pandangan Pak Ngadi juga tak lepas dari gundukan mungil yang berada di selangkangan Lidya, karena rambut yang berada di atas kemaluan dicukur bersih, gundukan bibir kemaluan Lidya bisa terlihat jelas oleh Pak Ngadi yang langsung meneguk ludah karena menahan nafsu.

“Saya lepas ya baju Pak Ngadi.” Bisik Lidya perlahan. Ngadi hanya pasrah, mau diapakan juga dia mau, asal oleh Lidya.

Dengan gerakan gemulai, Lidya melucuti satu demi satu pakaian yang disandang Pak Ngadi dan meletakkannya. Berdiri sangat dekat dengan wanita telanjang secantik Lidya membuat Pak Ngadi merinding, nafsu, malu tapi mau. Buah dada Lidya yang masih kencang memompa semangat Pak Ngadi, ingin rasanya dia menjamah, tapi rasa takut dan segan membayangi. Akhirnya, seluruh pakaian Pak Ngadi telah dilepas. Pria sederhana itu kini berdiri telanjang di depan Lidya. Kemaluan Ngadi yang ukurannya sedang-sedang saja berdiri menantang di hadapan Lidya, tegangnya penis Ngadi tentu adalah hasil pertunjukan erotis Lidya. Walaupun situasinya sangat tidak menyenangkan, entah kenapa Lidya merasa geli dengan keluguan Ngadi.

“Jangan takut pak, saya tidak menggigit kok… kecuali diminta…” bisik Lidya sambil menggigit bibir bawahnya. “Ayo mandi sama saya.”

Si cantik itu kaget sendiri setelah mengatakan pernyataan erotis itu. Bagaimana mungkin kata-kata itu bisa terucap dari mulutnya? Apa yang terjadi pada dirinya? Apakah dia sudah mulai menyukai affair semacam ini setelah berhari-hari ‘dididik’ oleh Pak Hasan? Tidak… ia tidak mau… Mas Andi… tolong… Mas Andi…

Perubahan wajah Lidya terlihat jelas, ia mundur beberapa langkah dan menjauhi Pak Ngadi, kali ini sekali lagi Lidya menutupi buah dada dan kemaluannya. Sikap Lidya yang berubah-ubah membuat Ngadi bingung, pria tua itu berbalik menghadap Pak Hasan tapi mertua Lidya menggeleng.

“Maju saja, Pak Ngadi. Silahkan.” Kata Pak Hasan. Pak Ngadipun kembali berbalik dan mendekati Lidya yang menyudut di pojokan.

Setelah menyuruh Ngadi untuk maju, Pak Hasan mengambil kursi tepat di depan pintu kamar mandi dan duduk menghadap ke dalam, apapun yang terjadi di dalam, ia bisa menyaksikannya. Mertua Lidya itu melucuti celananya sendiri dan siap mengocok kemaluannya. Ada perasaan aneh yang bisa merangsang Pak Hasan saat ia melihat menantunya yang seksi berada dalam pelukan lelaki lain yang bukan suaminya. Ia pasti akan sangat menikmati pertunjukan ini.

“Sa… saya mandikan ya, Mbak Lidya…” kata Ngadi perlahan.

Lidya yang ternyata tengah meneteskan air mata mencoba menyembunyikan tangisnya lewat guyuran air yang turun dari shower, ia tidak mau Pak Hasan marah dan menghajarnya nanti. Mendengar suara lugu Pak Ngadi yang mendekatinya, Lidya hanya bisa mengangguk dengan pasrah. Yang akan terjadi terjadilah. Sebelum peristiwa ini terjadi, selama hidupnya Lidya hanya pernah mandi bersama dengan satu orang lelaki, yaitu Andi suaminya. Merinding juga rasanya mandi dengan lelaki tak dikenal seperti Pak Ngadi.

Air yang turun dari shower menghujani dua tubuh telanjang yang saling berhadapan, perlahan-lahan Lidya membalikkan badan karena malu, namun melepas kedua lengan yang menyembunyikan buah dada dan kemaluannya. Si cantik itu memejamkan mata menanti gerakan Ngadi. Penjual mainan anak-anak itu bergerak perlahan, dia tak puas-puasnya mengagumi keindahan tubuh Lidya yang molek. Bagian belakang tubuhnya pun sangat putih dan mulus tanpa bercak sedikitpun, berbeda dengan tubuhnya yang kotor dan bopeng-bopeng.

Tangan Pak Ngadi menyentuh punggung Lidya perlahan. Inilah untuk pertama kalinya mereka bersentuhan. Lidya mengeluarkan desahan pelan, ia berharap Pak Ngadi tidak mendengarnya. Walaupun tidak mendengar desahan erotis Lidya, Ngadi bisa merasakan getaran pelan dari tubuh wanita seksi yang sedang memunggunginya. Dengan perlahan, Pak Ngadi menggosok punggung Lidya dengan tangannya, ia mengambil sabun dan mengoleskan pelan di punggung seputih pualam milik istri Andi itu.

Melihat kepasrahan Lidya, Ngadi makin berani, tangannya bergerak ke depan dan perlahan-lahan meraih payudara Lidya yang sedari tadi membuatnya terpesona. Dengan dua tangan dari kiri dan kanan, pria tua itu menangkup buah dada Lidya yang besar dan kencang. Lidya meringkik lirih ketika Ngadi meremas balon buah dadanya. Pria tua itu makin mendekat dan memeluk tubuh Lidya dari belakang. Kini Ngadi menggosok punggung Lidya dengan dadanya, hal ini makin membuat Lidya terangsang hebat. Terlebih ketika dirasakannya kemaluan Ngadi terselip tepat di tengah-tengah lembah pantatnya. Pria tua itupun dengan nakal menggerakkan pinggul agar kontolnya menggesek-gesek pantat Lidya.

Lidya merengek lebih keras, gesekan kontol di pantat dan remasan tangan di payudara makin ditingkatkan, membuatnya tak mampu bertahan. Si cantik itu masih memejamkan mata ketika ia berbalik. Dengan sengaja ia mengeraskan aliran shower agar memancar lebih keras. Berhadap-hadapan dengan Lidya membuat kontol Ngadi makin menegang, ia memeluk wanita seksi itu erat-erat. Dengan bantuan sabun, Ngadi mengoles-oles buah dada Lidya, ia menggerakkan payudara Lidya naik turun di dadanya sendiri.

Lidya melenguh menahan nafsu, ia akhirnya bergerak naik turun tanpa diminta, menjadikan buah dadanya yang bersabun sebagai penggosok dada Ngadi. Pria tua itu sendiri tak berhenti, ia meremas pantat bulat si jelita dan mulai berani menciumi tubuhnya. Bibir Ngadi bergerak dari wajah namun menghindari bibir seksi Lidya, Ngadi menciumi setiap jengkal kulit mulus Lidya yang basah oleh siraman air dari shower, mulai dari lehernya yang jenjang, lalu turun ke dada yang masih belepotan sabun. Sambil membersihkan buah dada Lidya dengan tangan, ia juga menciumi kedua balon payudara si cantik itu dengan penuh nafsu, kali ini ia menghindar dari puting payudara Lidya. Ciuman Ngadi berlanjut ke daerah perut, terus turun sampai akhirnya ke bibir kemaluan Lidya. Kali ini Ngadi tak menghindar.

Dengan kepasrahan penuh birahi, Lidya menahan dirinya dengan menyandarkan tangan ke tembok kamar mandi. Ngadi berjongkok hingga kepalanya tepat berada di depan kemaluan Lidya. Air terus mengalir membasahi tubuh mereka berdua, sementara Pak Hasan menyaksikan adegan demi adegan sambil mengocok kemaluannya sekuat tenaga.

Ngadi mengelus-elus paha mulus Lidya lalu menciuminya bergantian, kiri ke kanan, kanan ke kiri, terus menerus. Ciuman itu tak berhenti dan makin lama makin masuk ke arah selangkangan.

“Ohhhhmmm… esssstttt…” desah Lidya tak berdaya saat bibir vaginanya mulai tersentuh lidah nakal Pak Ngadi.

Dengan menggunakan jemarinya, Ngadi membuka bibir memek Lidya yang berwarna merah muda dan menjejalkan lidahnya masuk ke dalam liangnya. Sodokan lidah Lidya yang hangat ditambah guyuran air shower membuat sensasi erotis yang lain daripada yang lain, Lidya makin tak mampu menguasai dirinya sendiri, si cantik itu merem melek diperlakukan sedemikian rupa oleh Ngadi.

Selang beberapa saat kemudian, giliran bibir Ngadi yang asyik mempermainkan seputaran selangkangan Lidya.

“Mmmmhhhh! Sssttthhh… oooohhh…” desahan Lidya terus menguat.

Melihat Lidya sudah tak kuat lagi, Ngadi malah melanjutkan serangannya dengan mempermainkan tonjolan klitoris Lidya. Dijilatinya tonjolan itu dengan lidahnya. Tubuh Lidya bergetar tak berdaya, ia tak tahan lagi, tubuhnya menggelinjang tanpa mampu ia hentikan.

“Yaaaaaaaaaaaaaahhhh…” Lidya menjerit lirih ketika ia akhirnya mencapai kenikmatan. Tubuhnya bergelinjang hebat dan menegang lalu ambruk ke depan. Untunglah Pak Ngadi sigap dan segera menangkap tubuh Lidya agar tidak sampai jatuh.

“Aduh… aku… lemas… sekali…” kata Lidya dengan suara lirih.

Sambil berhati-hati, Pak Ngadi mengangkat tubuh Lidya ke pinggir, mematikan keran shower dan mengelap seluruh tubuh Lidya dengan handuk. Pak Ngadi mengangkat tubuh telanjang Lidya yang sudah tidak basah dan berniat hendak menggendongnya ke ranjang. Si cantik itu sebenarnya keberatan, tapi tatapan mata galak Pak Hasan menundukkannya. Dengan berani penjual mainan anak-anak yang beruntung itu mulai mengangkat tubuh Lidya.

“Kuat kan, Pak? Tubuh saya berat.” bisik Lidya. Dia khawatir penjual mainan bertubuh kurus ini akan menjatuhkannya. “Kalau tidak kuat saya jalan sendiri saja…”

“Kuat kok, Mbak. Peluk saya erat-erat ya.” Kata Pak Ngadi.

Malu-malu Lidya memeluk Pak Ngadi, si cantik itu menautkan kedua lengannya ke leher sang penjual mainan saat dia digendong ke arah ranjang. Untunglah jarak antara kamar mandi dan ranjang Lidya tidaklah jauh. Wangi tubuh Lidya membuat Ngadi memiliki ekstra semangat, baru kali ini dia menggendong tubuh seorang wanita cantik yang tak mengenakan sehelai pakaianpun. Buah dada Lidya yang berukuran besar menempel di dada tipis Ngadi, menimbulkan percikan tenaga ekstra di hati sang penjual mainan.

Di pojok ruangan, Pak Hasan masih terus menyaksikan aksi sang penjual mainan dan menantunya, tangannya juga masih terus bergerak mengocok kemaluannya. “Nduk, kamu tidur tengkurap saja.” Kata Pak Hasan.

Lidya tidur tengkurap sesuai perintah Pak Hasan saat Ngadi meletakkannya di ranjang, matanya terpejam menanti serangan Ngadi selanjutnya. Pria setengah baya berkulit gelap mengkilap dan bertubuh kurus yang baru saja menggendong Lidya itu akhirnya naik ke atas ranjang, Ngadi bergerak dengan malu-malu mendekati istri Andi yang cantik itu. Perlahan-lahan Ngadi memulai serangannya dari ujung jari kaki Lidya. Ngadi belum pernah melihat jari-jari kaki yang mulus, lembut dan terawat seperti milik Lidya, sangat berbeda dibandingkan dengan jemari istrinya yang kotor dan keras karena jarang mengenakan sandal. Ngadi mencium dan menjilati satu persatu jari-jari kaki Lidya.

“Ehhhhmmm…” erang Lidya. Matanya masih belum terbuka tapi bibirnya tak kuat menahan rangsangan geli jilatan lidah Pak Ngadi.

Satu persatu jari-jari kaki Lidya dijilati oleh sang penjual mainan anak-anak sambil tak lupa mengelus-elus lembut telapak kaki Lidya yang putih. Ciuman Pak Ngadi naik ke betis, pria tua itu menikmati jengkal demi jengkal tubuh mulus Lidya, biarpun ini istri orang, tapi nikmatnya bukan main. Setelah puas menciumi satu kaki, Pak Ngadi beralih ke kaki yang lain, serangannya sama, mencium dan menjilati jemari kaki sang dewi.

“Engghhh…” Lidya menutup kepalanya dengan bantal, ia tidak tahan pada serangan Ngadi ini, membuatnya gelagapan. Pak Hasan yang masih duduk di kursi tak terlalu jauh dari ranjang tersenyum puas melihat menantunya keenakan, ia masih mengocok penisnya sendiri dengan gerakan ringan yang makin lama makin cepat.

Pak Ngadi meneruskan lagi, ia menggerakkan bibirnya menelusuri kaki Lidya hingga sampai ke paha. Pria tua itu sangat kagum, ini baru namanya paha, sangat sempurna, putih mulus tanpa cela. Ngadi menikmati detik demi detik, ia tahu ia hanya sekali ini saja bisa menikmati keindahan tubuh Lidya, itu sebabnya dia tidak ingin terburu-buru. Ini yang namanya sekali seumur hidup. Dia merasa sangat beruntung tadi Pak Hasan menyuguhkan jamu kuat yang diminumnya sebelum naik ke atas dan mandi bersama Lidya.

“Ohhhhh… ehhhmm…” Lidya tidak mau mengakui, tapi ciuman yang dilancarkan Pak Ngadi mulai dari jari kaki naik sampai ke paha membuat wanita jelita itu belingsatan, tak berdaya sekali dia rasanya. “Ohhhhh…” sekali lagi Lidya mengerang kala Pak Ngadi menjilati pahanya. Pria tua itu nekat naik hingga sampai ke perbatasan paha dan gunung pantat mulus Lidya.

Lidya menggelengkan kepalanya karena tak tahan ketika bibir dan lidah Pak Ngadi akhirnya sampai di gundukan pantatnya yang kencang dan bulat.

“Ouggghhsssttt… essssstt…” desah Lidya berulang-ulang, suara erotis yang keluar dari wanita secantik Lidya menambah semangat Ngadi. Pria tua mulai naik lagi, kali ini tangannya ikut bergerak, meremas-remas pantat Lidya yang montok dengan gemas. Lidya belum mau membuka matanya, tapi ia tak tahan dan menahan jeritannya.

Punggung Lidya menjadi sasaran selanjutnya, tubuh istri Andi ini sangat seksi, merangsang di setiap jengkalnya. Benar-benar bagaikan tubuh seorang dewi yang turun dari khayangan, sempurna tanpa cela. Kini tubuh yang indah itu menggelinjang di bawah sapuan lidah Ngadi yang menggerayangi bagian punggungnya. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai penjual mainan anak-anak itu sepertinya sudah sering melakukan ini pada sang istri, dia mahir sekali melakukannya. Sebaliknya, Lidya yang belum pernah merasakan lidah maut Pak Ngadi pun takluk dan tak bisa bertahan. Pak Ngadi naik lagi, lidahnya kini menyapu pinggir sela lengan dan dinding buah dada Lidya.

“Ouuuugghhhhh… asssstttt… eessssssssttt…” mulut Lidya mendesah-desah, tubuhnya menggelinjang, tapi ia masih tetap tak mau membuka matanya.

Pak Ngadi yang tadinya takut-takut mulai percaya diri, gelinjang tubuh dan desah nafas Lidya membuatnya yakin, walaupun wanita ini secantik dewi dan seindah bidadari, tetap saja dia seorang perempuan biasa, pasti bisa ditaklukkan. Ngadi mengangkangi tubuh Lidya dengan penis yang diarahkan ke belahan pantatnya.

Sampai di sela bokong mulus Lidya, penis pria setengah baya itu sengaja diselipkan di tengah lalu digosok-gosokkan naik turun. Saat tangan Ngadi mengelus-elus kelembutan pinggang Lidya, bibir dan lidahnya menjelajah punggung, naik ke pundak, lalu bagian belakang leher dan akhirnya sampai di daun telinga. Daun telinga adalah salah satu titik kelemahan Lidya, lidah Ngadi bergerak lincah menggoyang daun telinganya. Semua rangsangan ini membuat si cantik itu takluk, ia pasrah sepasrah-pasrahnya.

Ngadi masih belum selesai, dibaliknya tubuh Lidya agar menghadap ke atas. Lidah pria tua itu beraksi lagi, berawal dari serangan di leher depan, menuruni pundak sampai ke sela ketiak, turun lagi ke lengan sampai ke telapak tangan dan akhirnya berhenti di jari-jari Lidya. Ciuman bibir dan jilatan lidah Ngadi tak pernah berhenti, terus bergerak tanpa kenal lelah menguasai tubuh Lidya. Inilah yang dinamakan mencicipi tubuh seorang wanita dengan arti yang sebenarnya.

“Auuuuuhhmmm… esssssttt… eehhhgg…” walau tak mau mengakui dan merasa terpaksa melayani orang yang bukan suaminya, tapi kalau Lidya mau jujur, dia puas sekali dengan foreplay yang dilakukan Pak Ngadi. Siapa sangka orang seperti itu bisa melakukan foreplay seenak ini?

Lidah mungil Lidya merekah, seakan minta dicium, tapi Ngadi belum mau melakukannya. Pria tua itu terdiam sejenak karena takjub dengan kemolekan bagian depan tubuh Lidya, terutama bagian dadanya. Selama ini Ngadi harus puas dengan dada istrinya yang seperti papan cucian, ia tak mengira, akan datang hari dimana dia akan diberi kesempatan mencicipi payudara sempurna seorang bidadari. Pria tua itupun memanfaatkan waktunya yang longgar selama mungkin, dijilatinya gunung payudara Lidya tanpa menyentuh ujung pentilnya. Buah dada Lidya yang montok dilalap habis oleh Ngadi, istri Andi yang sudah pasrah itu hanya bisa mendesah penuh nikmat saat payudaranya dioles-oles oleh Ngadi. Pentil Lidya sudah mengeras sedari tadi, ujung payudara itu menonjol ke atas, memohon dikulum secepatnya.

Pak Ngadi makin berani, melihat puting susu yang bentuknya sempurna itu mau tak mau ia nafsu juga. Diawali hembusan nafas yang ditebarkan ke puting agar terasa hangat, Pak Ngadi menowel ujung pentil Lidya dengan ujung lidahnya, melontarkan nafsu Lidya bangkit sampai ke puncak.

“Uaaaaaaahhhh!!” Lidya membelalakkan matanya! Tubuh si cantik itu menggelinjang tak karuan. Pak Hasan makin kagum pada orang tua yang kini sedang menikmati tubuh menantunya ini, luar biasa juga kemampuannya, ia ternyata mampu menundukkan menantunya yang jelita dengan lidahnya yang lincah.

Bangkitnya nafsu birahi Lidya membuatnya tak bisa begitu saja membiarkan Ngadi terus berlama-lama, tanpa takut-takut Lidya mengangkat payudaranya dan menyodorkan putingnya pada Pak Ngadi. Melihat istri Andi itu menyerah pada nafsu membuat Pak Hasan ingin bertepuk tangan. Hebat, sungguh hebat penjual mainan anak-anak ini!

“I… ini… tolong… cepat…” desah Lidya, ia memejamkan matanya kembali dan menunggu Pak Ngadi menghisap pentilnya yang sudah menjorok. Ngadi melirik ke arah Pak Hasan, meminta persetujuan. Ketika Pak Hasan mengangguk, pria tua itu memberanikan diri, bibirnya menelan pentil payudara Lidya dan menghisap-hisapnya dengan buas.

“AAAAAAAAAHHHH!!!” Lidya setengah berteriak, matanya terbelalak karena nikmat yang ia rasakan. Setelah seharian memamerkan tubuh di pasar, kini seorang penjual mainan anak-anak berhasil mendapatkan akses ke pentilnya. Pentil yang selama ini hanya diperuntukkan sang suami tercinta dan direnggut paksa oleh mertuanya yang bejat. “Ah! Ah! Auuuhhh!! Esssstt!” Lidya menahan semua nafsu yang sudah siap meledak di selangkangannya, digigitnya bibir bawah untuk membantu menahan semua getaran nafsunya.

Pak Hasan akhirnya tak tahan hanya melihat saja menantunya yang bugil itu dipermainkan oleh seorang pria yang baru mereka kenal tadi pagi. Dengan langkah hati-hati agar tak mengganggu proses foreplay Pak Ngadi, Pak Hasan duduk di pinggir ranjang dengan rasa ingin tahu yang berlipat. Tangan Pak Hasan bergerak maju menyelip di antara paha Lidya, dengan lihai ia meraba-raba bibir memek sang menantu sambil memijit tonjolan di bibir atas vagina Lidya yang ternyata sudah basah.

“Eyaaaaaaagghhhh!! Uaaahhh! Aaahhh!! Jangaaaaan!!” Lidya tersentak kaget sekaligus mengalami kenikmatan yang luar biasa ketika jemari Pak Hasan bermain di sekitar mulut vaginanya. Belum usai serangan yang dilakukan Pak Ngadi, kini Pak Hasan sudah datang.

Pak Ngadi menyelipkan tangan kirinya ke punggung Lidya dan menarik tubuhnya ke atas, sementara tangan kanannya masih tetap beraksi meremas-remas payudara kanan dan kiri silih berganti. Begitu posisi mereka berhadapan, Pak Ngadi melumat bibir mungil Lidya dengan penuh nafsu. Bibir yang tadinya mendesah berulang-ulang itu kini terdiam dalam dekapan sang lelaki tua. Lidya yang sudah tak ingat apa-apa lagi menyerahkan dirinya penuh kepada kedua lelaki tua. Ia pasrah ketika Pak Ngadi melumat bibirnya, bahkan Lidya membalas ciuman sang penjual mainan dengan permainan lidah yang saling memilin.

Sementara Pak Ngadi mencium Lidya dengan hot, Pak Hasan menggerakkan jemarinya di selangkangan sang menantu dengan lincah. Digesek-gesekkannya jari tengahnya di bibir vagina Lidya sementara jari telunjuknya memainkan klitoris yang menonjol. Lidya sudah lupa diri, si cantik itu memaju mundurkan pinggul karena tak tahan, ia ingin memeknya segera ditembus sesuatu yang keras dan panjang.

Lidah Pak Ngadi beraksi sepuasnya di mulut Lidya, menjelajah masuk dan menjilati seluruh liang mulut si cantik itu. Bibir Lidya juga tak tinggal diam, ia mengulum dan melumat bibir Pak Ngadi yang besar, lidah si cantik itu juga masuk ke mulut Pak Ngadi, bau rokok murahan yang tersebar dari kerongkongan lelaki tua itu tidak membuat Lidya berhenti, ia terus menerjang, menjilat dan melumat.

Pak Hasan naik ke atas ranjang dan bersiap untuk melesakkan penis ke dalam memek sang menantu, penisnya yang sudah keras seperti kayu ditempelkan dan dimainkan di mulut vagina Lidya, ia belum mau memasukkannya, ia ingin menggoda si cantik itu. Pak Ngadi yang tahu si empunya cewek sudah siap melakukan penetrasi bergeser ke samping memberi tempat pada Pak Hasan untuk beraksi. Lidya mengerang dan mendesah, ia bingung sekaligus menikmati. Ia lupa pada suaminya, ia lupa pada statusnya sebagai seorang istri, ia lupa semuanya, ia hanya ingat ia sedang bermain cinta dengan dua orang lelaki tua yang perkasa yang memberinya kenikmatan tiada tara.

Pak Hasan bersiap, diangkatnya kontolnya yang kini bagaikan tiang bendera dan dengan satu tusukan pelan, masuklah kemaluannya ke dalam liang kewanitaan Lidya. Wanita jelita yang tak berdaya itu menggelinjang dan kebingungan, dia menjerit lirih di bawah serangan Pak Ngadi yang belum juga berhenti menciumi bibir dan meremas-remas payudaranya.

“Iiiiihhh… ehmmm… aaaahhh! Ahhhh!! Ahhh!!” desi Lidya berulang kala Pak Ngadi melepaskan pagutannya.

Pak Hasan menarik Lidya dan mengaitkan kakinya yang jenjang di pinggangnya. Bagian atas tubuh Lidya sudah kembali turun ke ranjang, walau masih dipermainkan oleh Pak Ngadi, sementara kakinya kini mengait pinggang sang mertua. Pak Hasan akhirnya mulai menggerakkan pinggul untuk menyetubuhi sang menantu, ia bergerak maju mundur dengan pelan.

Walaupun Lidya dan Andi adalah pasangan yang belum terlalu lama menikah, intensitas hubungan intim antara Lidya dan suaminya termasuk jarang. Andi lebih suka bekerja daripada tinggal di rumah dan tidur dengan istrinya. Hal ini sangat disyukuri oleh Pak Hasan, karena memek Lidya masih terasa rapat bagaikan seorang perawan. Entah karena jarang bermain cinta dengan suaminya ataukah karena kontol Andi hanya sebesar tusuk gigi sehingga tidak mampu merenggangkan dinding dalam kemaluan si cantik itu.

“Heeeeennghhhgghhh!!” Pak Hasan menggemeretakkan gigi dengan gemas saat ia mulai meningkatkan kecepatan tumbukannya.

Tubuh Lidya yang bergerak naik turun sesuai sodokan Pak Hasan dimanfaatkan oleh Ngadi, pria tua itu menyodorkan kemaluannya ke wajah Lidya. Si cantik itu awalnya jijik dengan kemaluan Pak Ngadi yang bentuknya tidak karuan, hitam, keras dan panjang. Dari segi ukuran, mungkin Pak Hasan lebih unggul. Tapi Lidya sudah tenggelam dalam nafsu birahi, ia tahu apa maksud Pak Ngadi menghunjukkan kontolnya. Segera saja Lidya meraih penis hitam itu dan memasukkannya ke mulut.

“Ughhhhhoooooohhh…” sekarang giliran Pak Ngadi yang merem melek keenakan. Siapa yang tidak mau kontolnya disepong seorang dewi bermulut indah seperti Lidya?

Pak Hasan makin getol memaju mundurkan pinggulnya, enak sekali rasanya memompa vagina menantunya yang masih sangat rapat ini. Tangan kirinya meremas-remas buah dada kiri Lidya sementara payudara yang kanan menjadi santapan tangan Pak Ngadi.

Pak Hasan terus menggenjot vagina Lidya dengan beringas, nafas pria tua yang sangat bernafsu itu tersengal-sengal karena ingin segera mencapai kenikmatan maksimal. Desah nafas tiga orang yang tengah bercinta itu menjadi musik indah pencapaian kenikmatan seksual. Pak Ngadi yang keenakan dioral oleh Lidya merem melek, ia makin tak tahan sepongan si cantik itu, apalagi setelah melihat wajah Lidya yang mempesona menelan bulat-bulat kontolnya yang hitam dan panjang.

“Huuuungghhhh!!!” akhirnya diiringi satu lenguhan panjang, Pak Ngadi mencapai orgasme. Ia tak kuat lagi bertahan.

Semburan pejuh Pak Ngadi tersebar ke seluruh permukaan wajah cantik Lidya, lalu ke dada dan akhirnya perut, cukup banyak cairan putih kental yang dikeluarkan ujung gundul kemaluan pria tua itu. Lidya tersengal-sengal mengatur nafas, baru kali ini dia bermain dengan dua orang pria yang sama-sama mahir bercinta, hebatnya dua laki-laki ini bukanlah suaminya, tubuh si cantik itu mengejang, dan pantatnya terangkat kuat-kuat. Bola mata Lidya berputar ke belakang, sampai hanya bagian putihnya saja yang terlihat, rupanya si cantik itu juga telah mencapai tingkat kepuasan maksimal.

Setelah Ngadi dan Lidya selesai, giliran Pak Hasan, ia merasakan air cinta membanjir di dalam liang kenikmatan Lidya, tapi mertua bejat itu terus saja menyodokkan kemaluannya dalam-dalam, tak mau berhenti. Tak terlalu lama menggoyang memek Lidya, akhirnya Pak Hasan juga mencapai ujung tertinggi tingkat kenikmatannya.

Meledaklah air mani Pak Hasan di dalam memek sang menantu. Pria tua itu mengejang, mengeluarkan semua birahinya dalam tumpahan air mani yang mengalir deras membanjiri memek Lidya. Benar-benar puas dia kali ini, untuk pertama kalinya Lidya bersedia melayaninya tanpa melawan dan menangis. Menantunya itu benar-benar telah berubah dan bersedia dijadikan budak seksnya. Setelah mengeluarkan penisnya dari vagina Lidya diiringi bunyi letupan kecil, Pak Hasan ambruk ke ranjang.

Pak Ngadi tidak mempercayai keberuntungannya. Walaupun ia memang tidak diijinkan memasukkan penisnya ke memek Lidya, tapi disepong wanita secantik bidadari seperti istri Andi itu adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Inilah pengalaman sekali dalam seumur hidup yang tak akan dilupakannya. Setelah tak lagi lelah nanti, ia akan memakai pakaiannya dan pergi dari rumah ini, kembali ke kehidupannya yang sederhana dengan membawa memori terindah yang pernah dirasakannya.

Lidya terbaring lemas tak berdaya di ranjang. Tubuhnya yang telanjang kini basah kuyup oleh semprotan air mani yang dikeluarkan oleh Pak Hasan dan Pak Ngadi. Mata si cantik itu terpejam, makin kotor saja dirinya – ia bahkan mulai menikmati permainan gila mertuanya ini, sampai kapan Pak Hasan akan memperlakukannya dengan hina seperti ini? Sampai kapan semua ini akan terjadi? Apa yang akan terjadi esok hari?

Perlahan wanita cantik yang kelelahan itu terlelap dan tenggelam dalam tidurnya.

Tidak ada komentar: