blonto

12 Februari 2008

Ranjang Yang Ternoda 5 “Kejutan Pria Tua”

Pak Bejo geleng-geleng kepala dengan takjub, pria tua cabul itu sedang asyik memotong rumput dan memperhatikan kegiatan Anis, Opi dan Dodit yang sedang bermain-main di halaman rumah Hendra dan Alya. Gadis muda itu mengenakan celana jeans pendek dan kaos tipis yang bisa dibilang gagal menyembunyikan balon payudara pemiliknya yang sempurna, BHnya yang berwarna merah jambu bisa terlihat dari kejauhan karena diterawang sinar matahari.

Pak Bejo tersenyum sendiri saat menyaksikan buah dada Anissa melonjak-lonjak ketika sedang berlarian bersama Opi. Payudara sempurna itu mental ke atas dan ke bawah dengan mempesona, membuat pria tua itu meneteskan air liur mesum. Belum lagi menatap pantatnya yang hanya dibungkus celana jeans ketat yang ukurannya sangat mungil. Kakinya yang jenjang begitu mulus dan seputih pualam, ingin rasanya Pak Bejo mengelus paha indah milik Anissa.

Tubuh yang indah, seperti apa ya kira-kira tubuh itu kalau telanjang? Pasti lebih menggiurkan lagi. Pasti segar rasanya menyetubuhi tubuh gadis muda seperti Anissa. Pak Bejo terkekeh, sebentar lagi gadis itu akan menikah, dia bertanya-tanya apakah Anis masih perawan atau tidak, mungkin perlu ditest dulu sebelum menikah. Pak Bejo terkekeh mesum.

Mungkin sedang beruntung, tiba-tiba saja Anissa membungkukkan badan menghadap ke arah Pak Bejo ketika sedang bermain bersama Opi. Bagian atas kaosnya yang longgar memberikan kesempatan pada Pak Bejo untuk menikmati belahan dada gadis muda itu.

“Wah, wah, pagi-pagi sudah disuguhi susu non Anis. Enak enak enak. Putih mulus, besar bulat, wah, pasti lezat sekali dijilati.” Pak Bejo mengecap lidah menatap keindahan belahan dada Anis yang bisa dilihat jelas olehnya. “Lihat ginian saja aku ngaceng, apalagi kalau pegang.”

Tiba-tiba saja Anissa berbalik dan kali ini Pak Bejo disuguhi keindahan bulat pantatnya yang juga sempurna. Bokong gadis itu begitu indah menopang kedua kaki jenjangnya, menyeruak ke atas seakan minta dielus seseorang.

“Kalau sampai tidak bisa menjejalkan kontolku ke dalam anus Anissa, namaku bukan Bejo Suharso!” batin Pak Bejo sambil pelan mengelus kemaluannya yang kian membesar. “Akan kubelah memek dan anusnya sampai gadis itu tidak bisa lagi berdiri tegak!”

“Ayo, semuanya! Sarapan dulu!” panggil Bu Bejo dari dalam rumah, menghancurkan lamunan suaminya yang cabul.

###

Air hangat yang menyegarkan seluruh badan Alya yang terasa pegal membuatnya rileks. Gelembung sabun yang meletup-letup seakan mengingatkan Alya pada permainan cintanya yang panas dengan tetangganya yang cabul, Pak Bejo. Ketika menyabuni kakinya yang panjang dan jenjang, Alya berusaha keras untuk tidak bermain-main dengan kemaluannya, dia membuang jauh-jauh semua birahi yang setiap saat dikobarkan oleh Pak Bejo. Wanita cantik itu bersungut dan memaki pria tua itu dalam hati, Pak Bejo telah membangkitkan gairah seksual liar di dalam dirinya dan karenanya Alya membenci pria tua itu setengah mati. Alya hanyalah seorang wanita lemah yang dimanfaatkan dan tidak bisa melepaskan diri dari cengkramannya. Alya beruntung karena kehadiran Anissa dan Dodit membuat Pak Bejo sedikit menarik diri karena tidak bisa diam-diam mendekatinya.

“Mandinya enak, manis?” tiba-tiba saja sesosok tubuh yang sangat ia kenal hadir di hadapan Alya tanpa diundang.

“Pak Bejo?!” Alya yang kaget spontan menutup dadanya dan menenggelamkan diri di dalam bak mandi. Hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan karena pria tua itu toh sudah pernah melihatnya telanjang berulang kali.

“Pak Bejo!” teriak Alya lagi ketika Pak Bejo membuka celananya. Batang kemaluannya yang besar dan keras dikeluarkan dari dalam celana dan pria menjijikkan itu kemudian kencing sembarangan. Alya panik namun tidak bisa berbuat apa-apa, bagaimana mungkin laki-laki ini bisa masuk ke kamar mandi pribadinya? Alya yakin sekali dia sudah mengunci pintu kamar, jangan-jangan Pak Bejo sudah menduplikat kunci semua pintu di rumah ini? Ketegangan Alya memuncak karena Hendra belum berangkat kerja dan masih sarapan di belakang bersama Anissa, Dodit dan Opi. Alya tidak tahu di mana Bu Bejo berada, mungkin sedang bersih-bersih. Walaupun marah, pandangan Alya langsung terpatri pada kemaluan Pak Bejo yang memang besar itu.

“Kamu kangen sama kontolku, manis?” Pak Bejo tersenyum meringis.

“Pak Bejo sudah gila? Mas Hendra ada di belakang! Anissa! Dodit! Opi! Bu Bejo! Kalau sampai ketahuan Pak Bejo masuk kemari…”

“Santai saja, Mbak Alya. Suamimu memang masih di belakang dan aku memang tidak berencana lama-lama di sini. Aku hanya mampir untuk memastikan tubuhmu masih seindah beberapa malam yang lalu. Aku kangen sekali sama kamu.” Pak Bejo dengan santai mendekati Alya dan duduk di tepian bak mandi tanpa menaikkan lagi celananya. Dia membiarkan saja kemaluannya tergantung di hadapan Alya.

“Aku ingin mandi tanpa diganggu, Pak. Silahkan meninggalkan kamar mandiku sebelum aku berteriak.”

“Ha ha ha. Beraninya kamu mengancamku, manis. Untung saja hari ini aku sedang tidak mood menamparmu, jadi kamu selamat, tidak perlu kerepotan lagi menyembunyikan lebam di wajahmu dengan bedak. Jangan khawatir, aku tidak akan lama.”

Pak Bejo memiringkan tubuhnya ke dalam bak mandi, tangannya yang kasar menarik leher Alya supaya lebih maju ke depan. Dengan hati-hati Pak Bejo menarik tubuh Alya dan mendekatkan kepala mereka. Bibir Pak Bejo segera mencumbu bibir Alya, lidah pria tua itu tidak kesulitan menyeruak masuk ke dalam rongga mulut Alya. Sambil melenguh lirih, Alya menerima ciuman Pak Bejo dan memejamkan mata. Alya beruntung ciuman itu tidak berlangsung lama, Pak Bejo melepaskan Alya kembali ke dalam bak mandi.

“Pak Bejo sudah gila! Nekat! Bagaimana kalau sampai ada yang tahu Pak Bejo masuk ke kamar mandiku?!”

“Aku sudah bosan main di belakang terus. Aku ingin bisa menidurimu siang malam tanpa khawatir, soalnya tubuhmu yang seksi itu benar-benar membuatku blingsatan tidak bisa tidur.”

“Dasar cabul!”

“Setelah apa yang Mas Hendra dan Mbak Alya lakukan dengan membantu aku dan Bu Bejo sekeluarga, tentunya aku bertekad untuk mengembalikan semua bantuan itu tanpa pamrih pada kalian.”

“Apa maksud Pak Bejo?”

“Tak lama lagi aku pasti bisa menidurimu tiap kali aku mau tanpa harus menunggu suamimu pergi bekerja atau tertidur lelap.” Bisik Pak Bejo mesra di telinga Alya. “Kenikmatan yang kau rasakan akan menjadi seratus persen murni berasal dariku dan memekmu yang lezat itu akan melupakan penis Hendra yang kecil dan tak bisa lepas dari kontolku ini.”

“KELUAR! KELUAR SEKARANG JUGA!” bentak Alya. Dia berusaha keras menahan suara agar tidak ada mendengar keributan di kamar mandi ini. Selain kemarahannya memuncak, ibu muda yang panik itu juga tidak ingin skandalnya dengan pria mesum ini terkuak karena ulahnya yang berengsek dan nekat.

Pak Bejo tertawa-tawa, sambil membenahi celananya dia keluar dengan lagak sombong, dia merasa sudah berhasil menaklukan Alya yang jelita dan diidolakan banyak orang, dia pantas untuk sombong.

Setelah Pak Bejo meninggalkan kamar mandi dan menutup pintu, Alya berulang kali membenamkan kepalanya ke dalam air. “Pria tua mesum itu makin tak terkendali. Nekat sekali dia masuk kemari dan menciumku…” batin Alya.

###

Dengan gelisah Dina menunggu panggilan.

Sudah hampir setengah jam ia menunggu panggilan Pak Pramono. Entah apa maksud pria tua itu memanggilnya ke kantor. Dina punya cukup alasan untuk gelisah, dia baru saja bertemu dengan beberapa orang teman Anton dan menurut mereka suaminya itu sudah menghilang sejak pagi tadi. Mereka memperkirakan, itulah alasannya Pak Pram memanggil Dina ke kantor, dengan karir yang makin tersendat sungguh tidak bijaksana bagi Anton kalau tiba-tiba saja dia memutuskan untuk pergi tanpa pamit.

Mungkin saja Anton tiba-tiba kalut setelah mengetahui skandal finansial yang dilakukan olehnya telah menimbulkan kerugian besar bagi perusahaan. Tanpa mengetahui perjanjian rahasia yang dilakukan oleh Dina dan Pak Pram, Anton lantas melarikan diri entah kemana. Dina takut Pak Pramono mengingkari perjanjian yang sudah mereka sepakati, Dina bersedia diapakan saja oleh Pak Pram asal mengampuni kesalahan suaminya. Seharian ini Dina tidak bisa menghubungi telpon genggam sang suami, kekhawatirannya makin memuncak ketika Pak Pramono kemudian juga menghubunginya lewat sms. Tapi pesan sms dari Pak Pramono di hp Dina sudah jelas mengatakan kalau dia memanggilnya karena ‘alasan’ lain. Untuk kesekian kalinya, dia harus melayani nafsu pria biadab itu.

Sekretaris Pak Pram sudah meninggalkan ruangan sejak istirahat makan siang, seorang satpam yang tadinya berada di lantai atas juga sudah turun ke lantai bawah, Dina hanya sendirian saja menunggu panggilan Pak Pramono di ruang tunggu kantornya. Ruangan Pak Pram yang eksklusif dan luas dan terletak di lantai atas gedung perkantoran ternyata cukup sepi, di lantai ini hanya ada seorang satpam, seorang sekretaris dan tentunya Pak Pram seorang. Saat ini, satpam dan sekretarisnya sedang istirahat dan Dina harus menunggu sendiri. Dina curiga, jangan-jangan satpam dan sekretaris Pak Pram itu memang sengaja meninggalkannya seorang diri di sini.

“Ibu Dina, silahkan masuk.” Terdengar suara entah dari mana dan pintu masuk ke ruang pribadi Pak Pram terbuka.

Dengan langkah berani dan berusaha mempertahankan harga diri, Dina masuk ke dalam. Pak Pram rupanya sedang berbincang-bincang dengan seorang laki-laki yang sudah terlihat sangat tua dan keriput. Walaupun begitu, terlihat binar mata ceria berkilat di mata lelaki tua itu.

“Ibu Dina, kenalkan ini Pak Bambang Haryanto.”, kata Pak Pramono sambil mengenalkan sosok kakek tua di sebelahnya. Entah kenapa Pak Pramono tidak memanggil Dina dengan sebutan ‘mbak’ seperti biasa. “Pak Bambang, wanita cantik ini adalah Ibu Dina Febrianti, istri dari salah satu pegawai saya, Pak Anton Hartono.”

“Oh, Anton yang itu.” suara Pak Bambang terdengar berat dan serak, sangat tidak enak didengar. Dari nada kalimat yang diucapkannya, Dina menduga Pak Bambang mengetahui kejadian penggelapan uang perusahaan yang dilakukan oleh Anton suaminya. Pasti mereka ingin menanyakan keberadaan suaminya yang sejak pagi tadi menghilang. Dina mulai ketakutan.

Dina segera menyalami Pak Bambang. Sepertinya Pak Pramono sangat menaruh hormat kepada kakek tua ini. Rambut di kepala Pak Bambang sudah beruban, putih semua. Wajahnya sudah keriput dan alisnya yang tebal panjang juga sudah memutih, sekilas penampilannya mengingatkan pada presiden kita yang kedua. Tubuh Pak Bambang lebih pendek dari Pak Pram, bahkan lebih pendek dari Dina. Hanya saja tubuh Pak Bambang jauh lebih gemuk sehingga terlihat sangat besar dan mengintimidasi.

Kalau Pak Pramono walaupun sudah berusia di atas kepala lima tapi masih terlihat gagah, sebaliknya dengan Pak Bambang. Kakek gemuk ini mungkin sudah 70 tahun, wajahnya juga terlihat sangat tua dan keriput, walaupun pada kenyataannya sangat sehat dan segar.

Berhubung tubuh Pak Bambang pendek, tentunya saat menyalaminya Dina harus sedikit membungkuk supaya terlihat sopan. Saat menegakkan badan, Dina melihat mata Pak Bambang nanar melihat belahan dadanya yang indah dan tentunya terlihat jelas di hadapan kakek tua itu. Wajah Dina memerah karena malu dan segera membenahi cara berdirinya. Mata Pak Bambang tidak bergeming dan terus menatap kedua buah dada Dina. Ibu rumah tangga yang cantik itu ingin menyilangkan tangan di depan dada karena merasa sangat malu, tapi pandangan mata galak dari Pak Pramono membuatnya mengurungkan niat. Dia tidak mau membuat Pak Pramono marah.

Ketiga orang itu segera duduk di tempat masing-masing. Pak Pram duduk di belakang meja kerjanya, sementara Dina dan Pak Bambang duduk bersebelahan.

“Pak Bambang adalah pendiri dan direktur dari PT Sasana, salah satu owner baru perusahaan ini.”, kata Pak Pram. “Setelah suksesnya pengambilalihan perusahaan melalui pembelian saham yang dilakukan oleh PT Sasana serta merger dengan anak perusahaan lain yang akan dilakukan sesegera mungkin, kami dari pihak perusahaan hendak memberikan kenang-kenangan untuk Pak Bambang selaku pemegang saham terbesar.”

Entah kepada siapa Pak Pram menerangkan panjang lebar. Dina hanya terdiam dan duduk dengan sopan. Pak Bambang terus saja mencuri-curi pandang ke arah payudara montok wanita cantik di sebelahnya.

“Nah, Ibu Dina. Karena Pak Anton belum juga memberikan laporan yang sangat penting dan amat kami butuhkan sehubungan dengan pengambilalihan perusahaan oleh PT Sasana dan keberadaan Pak Anton juga entah di mana saat ini, maka saya harapkan Ibu Dina sebagai istri dari Pak Anton bersedia memberikan down payment sekaligus kenang-kenangan pada Pak Bambang.”

Perasaan Dina mulai tidak enak. Pak Pram menatapnya tajam. Pandangan mata itu seakan-akan hendak mengatakan – jangan berani-berani melawan –.

“Kita mulai saja pertemuan ini dengan membuka baju Ibu Dina. Saya pribadi sangat menyukai pilihan baju yang Ibu Dina kenakan, tapi kalau saya tidak salah, nampaknya Pak Bambang jauh lebih tertarik pada isi yang ada di balik blus Ibu Dina. Silahkan blusnya dibuka dulu.”

Dina hampir pingsan. Dia tidak percaya apa yang dikatakan oleh Pak Pram. Dia hendak menyerahkan tubuh Dina pada kakek tua pendek menjijikkan ini? Benar-benar gila! Dina sudah siap berdiri dan meninggalkan ruangan itu, namun dia segera teringat perjanjiannya dengan Pak Pram dan tubuhnya pun langsung lemas. Selama Anton masih belum didepak dari pekerjaan dan posisinya aman, maka Dina masih harus melayani Pak Pram sampai dia bosan. Tidak ada gunanya melawan, semua sudah terjadi dan harus dihadapi. Dina menundukkan kepala sambil menahan air matanya agar tidak tumpah. Walaupun terdesak Dina tidak ingin terlihat lemah di hadapan dua laki-laki tua yang mesum ini.

Dengan tangan bergetar, Dina berusaha membuka kancing bajunya. Sekilas Dina melirik pada Pak Bambang yang menatapnya penuh nafsu. Karena dalam sms sebelumnya Dina dilarang mengenakan pakaian dalam oleh Pak Pram, maka Dina sempat mampir ke kamar kecil di lantai bawah untuk melepas pakaian dalamnya, dia sengaja mengenakan pakaian yang sopan dan tertutup rapat sehingga tidak menarik perhatian orang. Setelah dibuka seluruh kancing bajunya, Pak Bambang bisa segera menikmati keindahan buah dada sempurna milik Dina. Ibu rumah tangga yang cantik itu sengaja tidak segera melepas blusnya dan beralih membuka roknya.

Pandangan mata Dina yang mulai berlinang air mata memohon ampun pada Pak Pram, karena selain dilarang mengenakan BH, Dina juga dilarang mengenakan celana dalam, seandainya roknya dilepas, Dina akan langsung bugil di hadapan kedua orang ini, dia malu sekali. Tapi pria tua itu tidak mengindahkan tatapan Dina. Dia bahkan bangkit, menghampiri Dina dan membantu menarik resleting rok pendek istri Anton itu. Dina beruntung karena rok yang ia kenakan sangat ketat sehingga walaupun resletingnya sudah ditarik sampai ujung, tapi rok itu tidak lepas. Pak Pram menahan diri untuk tidak menarik dan melepas rok Dina, sebaliknya ibu rumah tangga itu panik dan berusaha menahan rok serta blusnya agar tidak terlepas dan membuatnya telanjang bulat di depan Pak Bambang.

“Nah. Nah. Begitu baru seksi. Anda setuju dengan saya, Pak Bambang?”

Dina melirik ke arah kakek gemuk yang terkekeh-kekeh di sebelahnya. Selain wajahnya yang menatap tubuh Dina lumat-lumat, dia juga memperhatikan adanya tonjolan yang makin lama makin besar di selangkangan Pak Bambang. Pandangan mata Pak Bambang beralih dari dada ke kaki jenjang Dina, lalu ke paha dan tentunya selangkangan si seksi itu. Pak Bambang nampaknya tidak terlalu memperhatikan pertanyaan dari Pak Pram.

“Ibu Dina sayang, tolong antarkan Pak Bambang beristirahat di sofa yang ada di samping sana.” Kata Pak Pram sambil menunjuk sebuah sofa panjang yang berada di dalam ruangan pribadi Pak Pram. “Temani beliau duduk di dalam.”

Pak Bambang terkekeh-kekeh lagi saat tangannya dibimbing oleh Dina bak seorang jompo yang sudah tidak mampu berdiri dengan tegak. Dina sendiri berusaha keras berada di belakang langkah Pak Bambang sehingga kakek gemuk itu tidak bisa menyaksikan langsung perjuangan kerasnya mempertahankan blus dan roknya agar tidak melorot. Walaupun begitu, berkali-kali lengan Pak Bambang dengan sengaja disenggolkan ke payudara Dina.

Setelah duduk di sofa dan disusul oleh Pak Pram, Dina duduk di samping Pak Bambang. Saat duduk, salah satu bagian blus yang dikenakan Dina melorot dan susu sebelah kanannya pun bisa dilihat jelas oleh kedua laki-laki yang ada dalam ruangan. Dina hendak membenahi bajunya tapi Pak Pram menggelengkan kepala sehingga diurungkannya niatnya itu.

Dina tersentak saat tangan Pak Bambang meraih buah dadanya yang terbuka. Dina bisa melihat kilau emas cincin kawin di jemari Pak Bambang. Dina baru teringat kalau dia juga masih mengenakan cincin kawinnya. Nama Anton terngiang berulang-ulang kali dalam benak Dina, begitu pula nama kedua anaknya. Ini semua untuk keluarga. Dia melakukan ini semua untuk keutuhan keluarga. Dina berusaha menenangkan dirinya sendiri. Belum pernah seumur hidupnya Dina membayangkan hal seperti ini akan menimpa dirinya.

Tangan Pak Bambang meremas-remas buah dada Dina dengan lembut dan beralih ke payudara yang sebelah lagi. Karena merasa terganggu, kakek bejat itu segera melepaskan blus yang dikenakan Dina. Setelah melepaskan blus Dina, Pak Bambang segera meremas-remas kedua payudara si cantik itu.

“Ibu Dina, tolong keluarkan kemaluan Pak Bambang agar tidak sesak di dalam.” Kata Pak Pram. “Sekalian digosok agar tidak kedingingan. Ruangan ini ACnya dingin sekali.”

Dina memejamkan mata dan berusaha tidak memikirkan apa yang saat ini sedang dialaminya. Dengan tangan bergetar, Dina meraih sabuk celana Pak Bambang dan membuka kaitannya. Setelah sabuk itu tidak terkait lagi, Dina menarik resleting celana Pak Bambang ke bawah. Dina memasukkan tangan ke dalam dan mencari batang zakar Pak Bambang. Setelah beberapa kali mencari dengan grogi, Dina menemukan penis Pak Bambang yang berada di balik celana dalamnya. Dina membuka celana dengan tangan kiri dan menarik keluar penis Pak Bambang dengan tangan kanannya.

Dina mengocok penis Pak Bambang dengan jemarinya yang lembut.

###

Hendra meninggalkan Anissa dan Dodit yang masih duduk di meja makan sambil menonton TV. Setelah menelpon taksi, Hendra siap berangkat kerja. Sudah beberapa hari ini Hendra tidak mengendarai mobilnya sendiri.

“Bagaimana mobilnya, Mas Hendra? Sudah dibawa ke bengkel yang saya sarankan?” tanya Pak Bejo yang tiba-tiba saja muncul dan mengagetkan Hendra.

Hendra tersenyum, “Wah, sudah Pak. Bengkelnya bagus dan murah. Nanti sore mobil saya sudah jadi, saya ambil sepulang kerja. Terima kasih banyak buat rekomendasinya, Pak Bejo. Kalau tahu dari dulu ada bengkel yang murah seperti itu pasti saya sudah langganan sejak lama.”

“Ah sama-sama, Mas. Saya kan juga sudah sering dibantu Mas Hendra.”

Hendra tersenyum dan masuk ke dalam kamar untuk menemui istrinya.

Pak Bejo menengok ke dalam sejenak kemudian meraih ke dalam saku celana dan mengambil telpon genggamnya. Dia mulai mengetikkan sms dan mengirimnya ke sebuah nomor.

- Bgmn psnku td? Kalian sdh sabot mobil si Hndr? Truk si Somad sdh siap? -

Tak lama kemudian, balasan sms itu datang, Pak Bejo terkekeh membaca pesan singkat yang masuk ke hpnya.

- Semua sdh diatur. Brs bos. -

###

Alya sedang memandangi dirinya sendiri di dalam cermin ketika suaminya masuk ke dalam kamar, ia terkejut dan bersiap karena mengira yang masuk adalah Pak Bejo. Wanita cantik itu langsung menghembuskan nafas lega begitu tahu yang masuk adalah suaminya.

“Kamu selalu cantik, sayang. Tidak perlu berkaca terlalu lama.” Kata Hendra sambil mendekap tubuh istrinya dengan mesra.

Alya tersenyum manis dan membiarkan kehangatan penuh cinta yang diberikan suaminya memberikan kedamaian setelah tadi sempat tegang dikejutkan Pak Bejo. Tangan Hendra yang nakal membelai tubuh istrinya yang masih mengenakan kimono. Dengan hati-hati sekali Hendra membuka bagian atas kimono itu dan membelai payudara Alya. Puting susu Alya menonjol ke depan dan dimainkan Hendra dengan lembut.

Alya mendesah penuh kenikmatan. “Aku menyukai sentuhanmu.”

Hendra memeluk istrinya erat-erat. “Aku sangat mencintaimu.”

“Aku lebih mencintaimu daripada kau mencintai aku, mas.”

Hendra mengecup bibir istrinya dengan lembut, tidak ada kekasaran yang dirasakan oleh Alya, hanya usapan bibir penuh cinta yang sangat didambanya. Sayangnya Hendra tidak tahu kalau bibir yang sama juga baru saja dinikmati oleh tetangganya yang cabul.

“Sudah mau berangkat kerja, Mas?”

“Aku sudah telpon taksi tadi.”

“Opi?”

“Diantar Bu Bejo. Kamu berangkat siang?”

“Iya. Katanya Anis sama Dodit mau jalan-jalan ke mall, aku mau numpang.”

“Ya udah kalau begitu, tadinya aku kira kamu mau dianter Pak Bejo pakai motor.”

Nama itu bagaikan kilat yang menyambar batin Alya. Tiap kali Hendra menyebut nama pemerkosanya, seluruh tubuh Alya terasa lemas tak berdaya. Batinnya menjerit-jerit namun tidak ada kata-kata yang terucap. Maafkan aku, Mas. Maafkan istrimu yang telah membiarkan diri dinodai oleh tetangga yang kurang ajar itu. Maafkan istrimu yang tidak mampu menjaga diri. Banyak yang ingin terucap, tapi bibir Alya tetap terkatup rapat.

“Nanti pulangnya jangan malam-malam ya, Mas.”

“Memangnya kenapa? Mungkin agak sore, aku ambil mobil dulu di bengkel.”

Alya menggelayut manja di pelukan sang suami. “Sudah beberapa hari ini kita tidak bercinta, aku kangen sekali sama kamu.”

Hendra tertawa dan mencium bibir Alya sekali lagi. “Gampang, nanti bisa diatur.”

Terdengar bunyi klakson taksi.

“Taksinya udah datang, aku berangkat dulu ya, sayang.”

“Iya, mas. Hati-hati.”

Hendra meninggalkan istrinya dan membuka pintu kamar lalu melangkah keluar. Belum sampai satu menit, Hendra kembali lagi ke kamar dengan keringat bercucuran.

“Mas? Kamu kenapa?” Alya terkejut melihat suaminya dan mengambil sapu tangan, dengan hati-hati diusapnya keringat Hendra. “Kamu sakit?”

“Nggak tau nih, nggak sakit kok, hanya saja perasaanku tiba-tiba tidak enak.”

Alya mulai khawatir. “Kamu yakin tidak apa-apa? Aku telpon ke kantor saja ya, minta ijin?”

Hendra tersenyum dan mencium dahi Alya. “Aku tidak apa-apa kok, sayang. Bener. Apapun yang terjadi, aku selalu mencintai kamu.”

“Aku juga, mas.”

“Aku berangkat ya.”

“Iya, mas.”

Perasaan Alya tidak enak.

###

Saat ini Dina sedang berada di sebuah ruangan di kantor suaminya. Tepatnya di sebuah ruangan pribadi yang berada di dalam kantor pimpinan Anton. Dina sedang mengocok seorang pria tak dikenal sementara tangan pria itu meremas-remas buah dadanya. Tak tahan lagi akan keindahan susu Dina, Pak Bambang mengelamuti payudara ibu muda itu. Dina mengernyit saat tangan Pak Bambang yang tadi meremasi payudaranya kini beralih mengelus bagian bawah pahanya yang mulus. Kaki Dina masih tertutup rapat sehingga tangan Pak Bambang harus mendesak ke dalam jepitan paha agar bisa masuk ke selangkangan kaki Dina.

Tangan Pak Pram menepuk bahu Dina sedikit keras. Karena kerasnya, suara tepukan itu mengagetkan Dina.

Dina tahu apa yang diinginkan Pak Pramono. Dengan penuh kepatuhan, Dina membuka kakinya. Tangan Pak Bambang langsung masuk ke selangkangan dan meraih belahan memek Dina. Tidak perlu waktu lama bagi Pak Bambang untuk menjelajahi bibir vagina Dina. Jari jemari gemuk pria tua itu beraksi dengan cepat, mencubit, menusuk dan mengelus bagian dalam memek Dina. Jempol Pak Bambang digunakannya untuk mengelus-elus klitoris Dina sementara jari tengahnya masuk ke liang cinta ibu rumah tangga yang cantik itu.

Dina mendesis lirih saat jari tengah Pak Bambang memasuki vaginanya dengan kasar.

Saat memperhatikan ke bawah, Dina melihat Pak Bambang masih asyik menjilati kedua buah dadanya dan mengelamuti puting susunya. Dengan sekali tarik, rok Dina dilepas oleh Pak Bambang sehingga memudahkannya mengakses memek Dina. Kakek itu segera sibuk dengan vagina Dina yang wangi.

Dina memejamkan matanya lagi. Betapa rendahnya diri Dina saat ini, beberapa hari yang lalu Dina adalah seorang istri setia yang tidak sudi melayani pria lain selain suaminya. Bahkan Anton sendiri kadang ditolaknya bermain cinta. Kini, sudah ada dua orang laki-laki lain yang tidak saja menyaksikannya bugil, tapi juga mempermainkannya seperti seorang pelacur. Dina merasa lebih rendah dari seorang pelacur, dia adalah seorang istri yang berzina dan mengkhianati kepercayaan suaminya. Tapi ini semua demi masa depan keluarga, ini semua untuk Anton dan kedua anaknya, Dina bersedia mengorbankan apa saja.

Gerakan mulut dan jemari Pak Bambang tidak ada hentinya menghujani tubuh indah Dina dengan rangsangan. Sebagai perempuan normal, rangsangan kakek mesum itu lama kelamaan berpengaruh juga pada tubuh Dina. Dina membuka kakinya yang jenjang makin melebar tanpa sadar. Bau cairan cinta Dina yang kian membanjir memenuhi seisi ruangan yang berAC, begitu pula bunyi becek memek Dina yang terus disodok jari jemari Pak Bambang yang keluar masuk dengan cepat. Kali ini tidak perlu waktu lama sebelum Dina akhirnya menyerah pada nafsu birahinya sendiri. Istri Anton itu meraih kepala Pak Bambang dan ditekannya ke arah buah dadanya sementara pinggul Dina bergerak seiring sodokan jemari Pak Bambang di memeknya. Tangan Dina yang lain terus mengocok penis Pak Bambang dengan gerakan yang makin lama makin cepat.

“Uaaaahhhhh!!” Dina menjerit lirih karena rangsangan hebat yang dilakukan Pak Bambang. Kakek mesum itu terus menyerang payudara dan vagina sang ibu muda yang cantik. Bagaikan seorang pekerja seks komersial yang binal, Dina menggerakkan pinggangnya agar tusukan jemari Pak Bambang masuk lebih dalam, Dina sudah lupa pada statusnya sebagai seorang istri dan ibu yang setia. Entah kemana Dina yang beberapa saat tadi masih teringat pada Anton dan dua orang anaknya.

Saat membuka matanya yang terpejam sedari tadi, Dina menyadari tubuhnya sudah hampir jatuh dari pinggir sofa. Kakinya terbentang sangat lebar dan memeknya dapat diakses dengan mudah oleh Pak Bambang. Bibir vagina Dina terlihat lebih merah dari biasanya dan rambut-rambut di sekitar lubang cintanya itu basah oleh cairan pekat. Baik pakaian maupun roknya sudah terbuka. Dia sudah telanjang bulat.

Pak Bambang meraih kepala Dina dan menariknya ke bawah, ke arah selangkangannya. Sebelum Dina menyadari apa yang terjadi, penis Pak Bambang sudah masuk ke dalam mulutnya.

Walaupun sudah keriput dan tidak terlalu besar, tapi penis Pak Bambang masih tetap bisa membuat Dina tersedak saat pria tua itu memaksa kepala Dina naik turun dengan cepat. Tangan Dina menggapai-gapai lengan Pak Bambang dan berusaha meronta. Tapi walaupun sudah uzur, kakek tua yang bejat itu masih tetap perkasa dan Dina tidak semudah itu bisa menghentikan aksinya.

Tiap kali kepala Dina turun ke arah selangkangan Pak Bambang, penisnya yang besar masuk ke tenggorokannya. Dina tersedak dan makin lama makin kehilangan kesadarannya karena tidak bisa bernafas. Pria tua yang dihormati oleh Pak Pram itu mencekik Dina dengan kontolnya sampai ibu rumah tangga itu hampir mati lemas. Untungnya Pak Bambang mengakhiri aksinya dan menarik kontolnya dari mulut Dina. Wanita cantik itu segera jatuh ke lantai dan terbatuk-batuk. Dina berusaha menarik nafas dalam-dalam dan menghirup udara walaupun terasa sangat berat.

Akhirnya, sambil mengangkat pinggul indah Dina ke arahnya, Pak Bambang menyelipkan kemaluannya yang mengeras ke dalam lubang vagina ibu muda yang cantik itu. Pak Bambang bisa merasakan gerakan spontan Dina yang mencoba melawan dengan beringsut menjauh, tapi itu malah membuat sang kakek tua mendesah keenakan karena tubuh mereka saling bersinggungan dengan lembut. Dengan pandai, kakek tua yang banyak pengalaman itu mengelus-elus paha Dina yang terbentang lebar dan mulai bergerak maju mundur sementara lubang rahimnya terus menyedot penis Pak Bambang dengan nyaman. Gerakan penis kakek tua itu makin lama makin dalam menjelajah rapatnya pertahanan vagina Dina. Walaupun mendesak ke dalam terus menerus, tapi Pak Bambang tidak ingin menusukkan penisnya sampai ke ujung, dia merasakan pelan-pelan katupan bibir memek Dina yang menjepit kontolnya bagaikan penghisap debu, liang cinta ibu muda yang hangat dan basah ia rasakan dengan nikmat dan perlahan. Dina hampir-hampir gila dibuatnya.

Tiap sentakan, tiap putaran dan tiap kali kontol Pak Bambang berpilin di dalam lubang vagina membuat Dina tidak bisa menahan gairah sensual yang makin lama makin meraja dalam dirinya. Dina tidak mampu menahan hausnya diri sendiri akan kenikmatan bercinta, dia ingin penis Pak Bambang menusuk lebih dalam dan lebih dalam lagi. Dia ingin menurunkan vaginanya sampai mentok ke paha Pak Bambang agar batang penisnya bisa masuk semua ke dalam vaginanya. Tapi Pak Bambang menahan diri dengan menikmati tubuh Dina selama mungkin dan itu membuat istri Anton itu melenguh tak berdaya.

Saat akhirnya penis itu menusuk lebih jauh ke dalam dan membelah vaginanya yang masih cukup rapat, Dina seakan hampir mati oleh gelombang kenikmatan yang mengubur dirinya. Sayangnya, sekali lagi Pak Bambang menahan diri dan tidak memasukkan seluruh kontolnya masuk ke dalam memek sang ibu rumah tangga yang cantik.

Dina menggeleng frustasi, walaupun dia malu mengakui kalau dia menginginkan penis Pak Bambang lebih dalam lagi tapi gairah sensual yang makin dirasakan membuatnya lupa diri. Dengan penuh keputusasaan, wanita cantik itu hanya bisa melenguh panjang dan meminta dengan dengan manja. “Pak… masukkan…”

Dina merasakan jemari kakek tua yang dengan nakal meremas, meraba dan memijat pipi bokongnya yang bulat putih mulus, mata Dina memejam dan seluruh tubuhnya bagaikan disetrum jutaan volt llistrik ketika tangan Pak Bambang menyibakkan pantat Dina dan jari tengah kakek tua itu masuk ke dalam lubang anusnya.

“Hngghh!!” Dina mengernyit menahan rasa sakit bercampur nikmat yang disebabkan oleh jari sang kakek nakal.

“Masukkan apa… Ibu Dina?” tanya Pak Pram yang kemudian menyadari kalau istri Anton itu sudah di ambang batas penyerahan diri yang total.

“I-itu… dimasukkan…”

“Apanya?”

“I-itunya…”

“Itunya apa?”

“Penisnya… masukkan… masukkan lebih dalam!!”

Pak Pram mengerling pada Pak Bambang dan kakek tua itu lagi-lagi mempermainkan Dina, dengan sengaja dia menggerakkan pinggulnya dengan gerakan sangat pelan yang menyiksa sang ibu rumah tangga. Dia tidak mau membuat Dina puas dan tak pernah mau melesakkan penisnya sampai mentok jauh ke dalam. Dia belum mau membuat Dina puas, dia ingin Dina lebih responsif, dia ingin Dina lebih binal lagi, dia ingin ibu muda yang cantik itu melupakan eksistensinya sebagai seorang istri dan ibu dan berubah menjadi budak seks yang haus disetubuhi saat itu juga.

Dengan penuh keputusasaan, Dina merayapkan bibir vaginanya yang haus kemaluan lelaki dan menangkup penis kakek tua yang walaupun keriput tapi berukuran besar dan memenuhi seluruh liangnya dengan sangat rapat, dinding vagina Dina seakan tidak rela diserang dan liang rahimnya itu langsung mengeluarkan cairan cinta yang menjadi pelumas. Dina sudah pasrah, dia sudah siap dihina sampai serendah-rendahnya, dia hanyalah seorang wanita biasa yang ingin merasakan disetubuhi saat ini juga.

Rangsangan hebat dari Dina membuat Pak Bambang tak tahan lagi. Dengan sebuah teriakan keras, kakek tua itu menghunjamkan seluruh kontolnya yang mengejang keras ke dalam vagina Dina dengan kekuatan penuh, dia tidak main-main lagi sekarang, seluruh batang kemaluannya melesak ke dalam sampai paha mereka saling tampar. Pak Bambang membiarkan kontolnya berada di dalam untuk sesaat sambil mendengarkan desahan kekalahan yang keluar dari mulut Dina. Dengan kekuatan penuh, kakek tua yang masih perkasa itu mulai menggiling memek sang ibu rumah tangga yang cantik dan menusukkan kemaluannya dalam-dalam sampai seluruh batangnya selalu tertelan habis.

Pak Pramono bisa merasakan lesakan dahsyat kemaluan Pak Bambang di seluruh tubuh Dina, dia bisa merasakan pahitnya kekalahan yang tentunya menguasai diri Dina yang kini hanya bisa pasrah disetubuhi Pak Bambang. Pak Pramono bergerak ke hadapan Dina, tubuh wanita cantik yang tersengal-sengal dientoti Pak Bambang itu terkulai pasrah di atas lantai. Dengan gerakan ringan, Pak Pram mengangkangi dada Dina dan duduk di atas buah dadanya. Satu tangan Pak Pram meraih rambut Dina, menjambaknya dan menarik kepalanya ke depan. Tangan Pak Pram yang lain menggiring penisnya yang sudah tegang ke bibir mungil Dina. Mata Dina terbelalak karena terkejut dan dia memalingkan wajah dengan marah, walaupun sedang dilanda gairah birahi yang sangat tinggi tapi Dina tahu dia tidak mau melayani dua orang sekaligus! Dia masih waras dan tidak ingin disamakan seperti seorang pelacur!

Dina merintih, “Jangan! Aku mohon… aku tidak bisa melayani kalian berdua bersamaan!”

“Kenapa tidak? Sekarang saat yang tepat, Ibu Dina… ayo kulum penis saya.” Kata Pak Pram tenang.

“Tidak! Jangan… aku tidak mau!!” Dina menolak. “Aku bukan pelacur! Aku tidak mau… dua orang… aku…”

Pada saat bersamaan Pak Bambang menusuk kontolnya lebih jauh lagi ke dalam liang rahim Dina, entah sudah berapa jauh ia menguasai memek Dina, yang jelas, ia sudah lebih jauh dari apa yang pernah dicapai oleh Anton, suami Dina. Wanita cantik itu melenguh nikmat dan hal itu memberikan kesempatan untuk Pak Pramono menyerang Dina. Dengan sedikit kasar Pak Pram menyodokkan penisnya ke dalam mulut Dina.

“Atas kena bawah bisa, Ibu Dina sayang.” Bisik Pak Pram menggoda.

Rongga mulut Dina langsung sesak begitu penis Pak Pram masuk ke dalam dengan paksaan, ibu muda yang cantik itu hampir saja tersedak dan merasakan daging berotot milik Pak Pram melindas lidahnya sampai ke dalam. Tubuh Dina tersentak dan dia menggelinjang tak berdaya. Di bawah, Pak Bambang terus saja membenamkan kontol raksasa yang keriput ke dalam memeknya sementara di atas Pak Pram menghunjamkan penis ke dalam rongga mulutnya. Air mata Dina meleleh saat dia menyadari betapa rendah dirinya saat ini, apalagi jika ia teringat pada sang suami yang tentunya masih mengira dia seorang istri setia. Penghinaan dan rasa malu apalagi yang masih bisa ia hadapi saat ini? Dia disetubuhi oleh dua orang sekaligus. Jari jemari Pak Bambang yang sesekali masuk ke dalam lubang anus membuat Dina menyadari satu hal lagi, seluruh lubang di tubuhnya sudah mereka kuasai, seluruh tubuhnya sudah menjadi milik dua laki-laki tua biadab ini. Dia sudah tidak berharga lagi. Dia sudah tidak punya harga diri lagi.

Sementara Dina menghisap-hisap penis Pak Pram, Pak Bambang kian liar mengendarai memek sang ibu muda yang cantik itu. Dengan sisa tenaga yang entah didapat dari mana, kakek tua itu terus menggerakkan kontolnya keluar masuk, Dina juga menggerakkan pinggulnya seiring gerakan penis Pak Bambang dan melayani permainan kakek tua itu. Pak Bambang dengan pandangan mata bahagia menyaksikan batang kemaluannya yang masih tetap keras keluar masuk dari memek Dina dengan perkasa, dengan sengaja kakek tua itu menarik penisnya hingga ujung gundulnya saja yang tersisa di dalam. Kemudian dengan kekuatan penuh, Pak Bambang kembali melesakkan kontolnya masuk ke memek Dina.

Disepong oleh wanita secantik Dina sungguh nikmat rasanya, Pak Pram menekan penisnya jauh lebih dalam ke mulut Dina, memasuki rongga tenggorokannya sampai perempuan cantik itu sesak dan hampir tersedak. Gerakan tubuh Dina yang didorong oleh Pak Bambang juga membuat sensasi tersendiri bagi Pak Pram, seakan-akan ibu muda yang cantik itulah yang bergerak naik turun, padahal dorongan itu datang dari bawah.

Dalam keadaan tidak berdaya, tubuh Dina menjadi bulan-bulanan kedua laki-laki tua yang kini menguasai dirinya itu. Berkali-kali Pak Bambang membolak-balik tubuh Dina agar bisa mendapatkan posisi yang enak dan kini ibu rumah tangga yang cantik itu turun ke lantai dan menelungkup ke bawah. Wajahnya berada tepat di bawah perut Pak Pramono sementara di belakang, Pak Bambang mengendarai Dina secara ‘doggie-style’. Wajah Dina semakin pucat dan sayu, dengan memelas Dina memohon pada Pak Pramono agar menyelamatkannya dan segera mengakhiri semua ini. Sayangnya tidak ada harapan bagi Dina.

Dengan satu tusukan penuh tenaga, Pak Bambang melesakkan penisnya ke dalam liang cinta Dina.

“Hnnghh!” Dina menggeram dan memejamkan mata menahan sakit.

Tubuh pendek Pak Bambang berada di belakang tubuh Dina. Tangannya memeluk pinggang Dina agar seimbang sementara dia melesakkan penisnya ke dalam rahim Dina. Tidak ada kelembutan saat kakek mesum itu menyetubuhi Dina, Pak Bambang bergerak dengan sangat cepat dan kasar. Agar tidak tergoyang terlalu hebat, Dina mencengkeram lutut Pak Pram yang duduk di sofa. Dina menengadah dan Pak Pram kembali menyodorkan kontolnya. Lagi-lagi Dina harus menyepong Pak Pram. Dina segera menjilati batang kemaluan Pak Pramono sementara Pak Bambang mengentoti vaginanya dengan kecepatan tinggi.

Hampir sepuluh menit posisi ini tidak berubah. Pak Pramono menjambak rambut Dina dengan gemas. Dina merasakan semprotan air mani membanjiri mulutnya. Agar tidak tersedak, Dina menelan seluruh sperma yang disemprotkan oleh atasan Anton itu. Walaupun sudah mencapai klimaks, Pak Pram tidak segera menarik kontolnya dari mulut Dina. Sementara itu, Pak Bambang masih terus menggerakkan pinggulnya menyetubuhi Dina dari belakang. Gerakan Pak Bambang sangat cepat dan penuh nafsu, mengingat usianya yang sudah uzur, Dina takjub pada kekuatan dan kecepatan Pak Bambang. Belum pernah seumur hidupnya Dina merasakan dientoti sedemikian cepat dan lama. Makin lama makin cepatlah kocokan kontol Pak Bambang di dalam memek Dina sampai pria tua itu melenguh keras dan menyemprotkan pejuhnya membanjiri vagina Dina.

Kedua lelaki busuk itu mencapai klimaks hampir bersamaan, dua laki-laki buas yang mencengkeram erat tubuh Dina berebut ingin memeluknya, masing-masing ingin melesakkan penisnya jauh lebih dalam ke dalam mulut dan vagina wanita cantik itu dan menembakkan air mani mereka dalam dalam. Pak Pram beralih ke sisi kiri Dina, dia menarik kontolnya yang mulai lemas meskipun si cantik itu masih saja menyedot air mani yang masih keluar dari ujung kemaluannya. Pak Bambang mundur ke belakang dan menarik keluar kontolnya dari dalam memek Dina, terdengar suara letupan kecil dan desahan nikmat dari kakek tua yang mesum itu. Pak Bambang berbaring di sisi kanan Dina.

Mereka bertiga kelelahan… kenyang oleh nikmatnya regukan birahi yang telah diraih. Dina memejamkan mata kecapekan, dia tidak mengira bahwa sekali ini dia benar-benar sudah mengkhianati suaminya dengan cara yang paling menjijikkan, tidak saja dia berselingkuh dengan atasannya, tapi dia juga melayani tamu Pak Pram secara bersamaan. Bagaimana mungkin wanita seperti dia bisa melayani dua orang sekaligus? Dulu bersetubuh dengan Pak Pram saja sudah seperti kiamat, rasa malu dan jijik yang hinggap tidak bisa hilang oleh apapun. Tapi kini? Dia disetubuhi oleh dua orang lelaki sekaligus. Seorang pria tua yang masih gagah dan seorang kakek-kakek yang keperkasaannya menakjubkan. Rasa malu pada diri sendiri kian membuncah karena Dina merasa mendapatkan kenikmatan yang luar biasa disetubuhi oleh mereka berdua.

Ibu rumah tangga seksi yang baru saja dinikmati dua pria tua itu ambruk ke lantai kantor. Nafasnya terasa berat hingga Dinapun terengah-engah. Belum sampai lima menit beristirahat, rambut Dina sudah dijambak oleh Pak Bambang. Pria tua itu menarik kepala Dina dan menyorongkan kontolnya yang basah oleh air mani ke mulut Dina. Dina segera menjilati kontol Pak Bambang dan membersihkan semua pejuh yang ada di batang kemaluan kakek tua itu.

Setelah Dina selesai membersihkan penis Pak Bambang dengan mulut, kakek mesum itu mendorong kepala Dina menjauh. Sekali lagi Dina duduk dengan lemas di lantai sementara dua pria yang baru saja menyetubuhinya duduk di sofa dan bersantai tanpa mempedulikannya.

“Bagaimana rasanya, Pak Bambang?” tanya Pak Pram dengan sopan sambil merapikan celananya kembali.

“Luar biasa, memeknya kok masih sempit ya? Padahal anaknya sudah dua, enak sekali. Untung saja tadi aku sempat minum obat kuat. Kamu beruntung punya koleksi seperti dia. Sudah berapa lama kamu pakai?”

“Sekitar dua minggu.”

“Buat aku saja. Dia cantik sekali.”

“Wah, saya tidak tahu apakah Ibu Dina…”

“Kalau di luaran, harga lonthe yang cantik dan seksi seperti ini mahal sekali, padahal kebanyakan memeknya sudah melar, aku sering rugi kalau beli. Yang dia punya masih sempit, padahal sudah pernah melahirkan, mungkin prosesnya melalui operasi caesar ya? Luar biasa, masih rapat, aku puas.” Suaranya yang serak terdengar semakin menyeramkan di telinga Dina. “Bagaimana kalau aku beli saja dia? Berapa harganya?” Pak Bambang mencari-cari buku cek di dalam saku bajunya.

“Wah-wah…” senyum Pak Pramono makin melebar. “Kalau dijual harganya mahal sekali, Pak Bambang. Dia ini masih orisinil. Ibu rumah tangga biasa yang…”

“Berapapun harganya aku beli. Aku bisa membeli perusahaanmu, Pram. Kalau hanya membeli lonthe semacam ini tentunya aku lebih dari sekedar mampu.”

Sudah jelas kalau Pak Bambang memang lebih kaya dibanding Pak Pram. Tapi selain lebih kaya dan jauh lebih tua, kakek-kakek yang bertubuh pendek dan gemuk ini nampaknya juga menjadi panutan Pak Pramono sehingga dia sangat hormat kepadanya. Kekhawatiran makin menyeruak ke dalam batin Dina.

Dina sadar sepenuhnya kalau dia sebelumnya telah berjanji bersedia menjadi budak seks Pak Pramono. Apa yang terjadi saat ini sudah menyalahi janji dan seandainya Pak Pram memberikannya pada Pak Bambang maka bisa dipastikan hidupnya akan lebih sengsara lagi. Pak Bambang jelas tidak selembut dan segagah Pak Pramono. Walaupun telah membuatnya menderita, tapi ada sisi-sisi lembut Pak Pramono yang kadang membuat Dina merasa sedikit dihargai. Dari dua bajingan tua ini, Dina jelas tahu siapa yang dia pilih.

“Pak Pram,” bisik Dina lirih, “perjanjiannya kan tidak seperti ini…”

“Diam! Siapa yang menyuruhmu bicara?” bentak Pak Pram galak.

Dina kaget oleh bentakan Pak Pram, ibu muda cantik itu lantas diam membisu karena takut, airmatanya meleleh membasahi pipi. Bagaimana mungkin ini terjadi? Dulu dia adalah seorang wanita baik-baik yang tidak mungkin akan berselingkuh dengan lelaki lain, tapi kini tubuhnya diperjualbelikan bagaikan seorang pelacur di pasar budak. Dina merasa sangat terhina. Dina meyakinkan dirinya sendiri kalau ini adalah jalan untuk menyelamatkan keluarga sehingga tidak ada jalan keluar dari masalah ini kecuali menjalankan semua perintah Pak Pram. Pandangan mata Dina kian mengabur karena pikirannya yang shock berat. Dia berusaha menahan tangisnya.

Tiba-tiba terdengar suara gemerincing di balik sebuah tirai yang tertutup sedikit di pojok ruangan. Karena sibuk meladeni nafsu kedua bandot tua tadi, Dina tidak memperhatikan sudut itu. Dina melirik ke arah Pak Pramono, entah kenapa orang itu tersenyum sinis.

“Pak Bambang.” Kata Pak Pram kemudian. “Rasa-rasanya saya tidak bisa memutuskan hal itu karena terkait dengan banyak hal. Tapi seandainya Pak Bambang memang berminat pada Ibu Dina, mungkin bisa ditanyakan langsung pada yang bersangkutan.”

Dina bingung dengan maksud Pak Pramono, jantungnya berdetak dengan kencang karena nasib dan masa depannya ada di tangan Pak Pramono, bagaimana mungkin dia melanggar perjanjian dan memberikannya pada kakek menjijikkan ini? Namun belum sempat Dina memprotes, suara gemerincing terdengar lagi. Suara dari sudut itu makin keras dan mengganggu. Pak Pram mendengus kesal.

“Ibu Dina, tolong buka tirai itu.” perintah Pak Pram jengkel.

Dina yang lemas dan masih telanjang hendak mengambil pakaiannya. Namun Pak Pram menggeleng.

“Aku ingin Ibu Dina membuka tirai. Bukan mengenakan baju.”

Dina menatap Pak Pram pilu dan mencoba berdiri. Tetesan air mani masih leleh dari sela selangkangannya yang sudah dinikmati Pak Bambang.

Dengan langkah kaki yang masih lemas dan bergetar, ibu rumah tangga yang cantik itu berjalan telanjang menuju ke arah sudut ruangan yang terus mengeluarkan suara gemerincing. Nampaknya ada sesuatu yang tersembunyi di balik tirai itu.

Sesuatu atau… seseorang?!

Seseorang sedang duduk di kursi yang berada di balik tirai!

Selama Dina melayani Pak Pram dan Pak Bambang, tentunya orang ini bisa melihat semua aksi mereka. Dina bisa melihat garis tali temali, orang yang duduk di atas kursi di balik tirai sedang terikat erat. Suara gemerincing itu berasal dari lonceng kecil yang ada di ujung tirai. Orang itu pasti berjuang keras agar bisa membunyikan lonceng kecil karena diikat sedemikian erat di kursi, mulutnya juga disumpal oleh kain.

Dengan sedikit ketakutan dan berusaha menutupi ketelanjangannya, Dina membuka tirai.

Dina menjerit karena shock melihat sosok di balik tirai.

Sosok itu adalah Anton! Suaminya!

###

Alya terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Dia baru sadar ternyata dia tertidur di depan televisi sepanjang malam, suara telepon di tengah malam mengejutkannya. Alya tidak menyukai suara telpon yang berdering di tengah malam. Suara dering telpon yang terus berbunyi mengingatkannya pada kejadian bersama Pak Bejo beberapa malam yang lalu dan itu terus menghantuinya. Masih belum terlalu malam, jam sebelas lebih sedikit, Hendra belum pulang dan Opi sudah terlelap. Anissa dan Dodit juga belum pulang, mungkin mereka masih jalan-jalan ke kota.

Alya berharap telpon itu bukan datang dari Pak Bejo. Dengan berat hati diangkatnya gagang telpon dan ditempelkannya ke telinga.

“Halo…”

Suara seorang wanita kemudian bertanya. “Selamat malam. Apa benar ini rumah Bapak Hendra Wibisono?”

Jantung Alya berdegup kencang. “Benar.”

“Dengan siapa saya bicara?”

Makin berdebar. “Saya Alya, istrinya. Maaf, ini siapa?”

“Ibu Alya, kami dari Rumah Sakit ***** hendak memberitahukan kalau malam ini Pak Hendra Wibisono mengalami kecelakaan, mobil yang dikendarai beliau bertabrakan dengan sebuah truk di jalan *****. Keadaan Pak Hendra cukup parah dan membutuhkan perawatan medis yang serius. Sampai saat ini beliau belum sadarkan diri dan kami membutuhkan kehadiran ibu segera.”

Dunia Alya berputar dan semua berubah menjadi gelap.

“Halo? Halo? Ibu Alya? Ibu masih di sana?”

Tidak ada komentar: